Palapanews.com – Melakukan peliputan untuk menjadi konsumsi media dan publik bukanlah suatu hal yang bisa dianggap remeh. Banyak lika-liku dan resiko yang perlu dirasakan oleh semua jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.
Bagi jurnalis perempuan, proses peliputan merupakan sebuah jenis tantangan yang memiliki resiko besar. Menjadi bagian dari pekerja profesional dunia jurnalis itu berarti siap untuk menghadapi tantangan tak kasat mata yang didapatkan dari pihak tak bertanggung jawab.
Keresahan ini membuat banyak perempuan tidak memiliki keyakinan diri dalam ikut menjadi bagian dari dunia jurnalis. Permasalahan dalam dunia peliputan ini menjadi suatu hal yang tidak dapat dipungkiri dalam menjalani prosesnya. Dimulai dari keresahan kecil sehingga masalah besar yang merugikan masa depan karir para jurnalis perempuan.
Hal ini dapat kita lihat dari data Jejak Jurnalis Perempuan yang dimuat oleh Aliansi Jurnalis Independen menyatakan bahwa hanya terdapat 10% dari 14.000 jurnalis yang terdata di Indonesia merupakan perempuan. Jumlah ini memperlihatkan besarnya perbedaaan harapan keseimbangan gender dalam dunia jurnalis.
Dalam data Jejak Jurnalis Perempuan yang dimuat oleh Aliansi Jurnalis Independen juga menyatakan salah satu hal yang memfaktori adalah adanya diskriminasi dan kekerasan seksual yang dialami para jurnalis perempuan.
Data menunjukkan 6,59% jurnalis perempuan mengalami diskriminasi dan 14,81% jurnalis perempuan mengalami kekerasan seksual pada saat mengerjakan peliputan berita. Permasalahan ini menjadi salah satu faktor penting bagi para perempuan lainnya dalam memandangi dunia jurnalistik. Ketakutan besar menggerogoti jiwa mereka akan hal yang terjadi dalam dunia lapangan atau dalam proses peliputan.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh seorang jurnalis perempuan dari salah satu stasiun televisi nasional. Menurutnya, dunia jurnalistik bagi perempuan tidak selalu gelap dan menakutkan. Justru di balik berbagai persepsi horor yang sering dilekatkan pada profesi ini, ada sejumlah privilege yang menguntungkan perempuan.
Ia menyinggung bahwa karena sebagian besar narasumber adalah pria, jurnalis perempuan cenderung lebih mudah diterima, lebih dilirik, dan pada akhirnya, lebih cepat mendapatkan akses berita.
Meski begitu, ia tidak memungkiri bahwa pelecehan, termasuk verbal, masih sering terjadi dan bahkan terasa seperti sudah dinormalisasi. Namun, ia juga menegaskan, “Saya dilindungi, dan saya juga melindungi diri saya.”
Ada kesadaran penuh terhadap batasan, kontrol atas cara membawa diri, dan sikap profesional yang ia jaga saat berinteraksi. Dengan itu, ia merasa tetap bisa menjalankan tugas di lapangan yang keras tanpa terus-menerus dibayangi rasa takut.
Selain itu, ia juga menyadari bahwa tidak semua perempuan memiliki pengalaman yang sama. Pelecehan tetap ada, dan beberapa menjadi korban. Oleh karena itu, institusi media perlu menyediakan ruang aman bagi para jurnalis perempuan agar bisa bersuara secara pribadi ketika menghadapi situasi tidak adil.
Pengalaman tersebut tidak dapat dijadikan representasi tunggal bagi seluruh jurnalis perempuan. Masih ada beberapa rekannya yang mengalami pelecehan dan berdampak pada kesejahteraan mental dan karir mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lapangan bagi jurnalis perempuan sangat beragam dan kompleks. Karena itu, penting bagi institusi media untuk menyediakan perlindungan yang memadai serta mendukung jurnalis perempuan dalam menghadapi berbagai tantangan.
Ia menyampaikan bahwa tidak ada perbedaan mencolok antara jurnalis laki-laki dan perempuan dalam hal penugasan. Ia tetap diturunkan ke lokasi-lokasi yang menantang, tanpa perlakuan khusus hanya karena ia perempuan. Penempatan lebih banyak ditentukan oleh siapa narasumber yang dituju.
Narasumber laki-laki umumnya lebih terbuka pada jurnalis perempuan, sementara narasumber perempuan cenderung lebih nyaman diwawancarai oleh sesama perempuan. Bagi dia, ini bukan soal keistimewaan, melainkan kecocokan. Ia menambahkan bahwa saat ini kesetaraan gender mulai terasa, dan ia menolak anggapan bahwa masih ada bias gender dalam penugasan.
Hal ini, menurutnya, juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya kesetaraan. Meskipun demikian, pernyataan terkait kesetaraan gender yang mulai terasa perlu ditinjau kembali secara kritis. Apabila dihadapkan dengan data yang menunjukkan bahwa jurnalis perempuan hanya mencakup 10% dari total populasi jurnalis.
Perbedaan ini menyadarkan adanya ketimpangan antara persepsi pribadi dan realitas yang lebih luas. Maka dari itu, pengalaman personal tetap dikatakan valid, namun tidak dapat merepresentasi keseluruhan situasi yang dihadapi jurnalis perempuan lainnya di industri media.
Di tengah kompleksitas tersebut, ada satu aspek yang patut disorot. Terutama hal ini berkaitan dengan pengalamannya sebagai jurnalis di lapangan. Ia mengakui bahwa dalam situasi tertentu, profesionalitas terkadang harus diimbangi dengan pertimbangan keselamatan. Bukan semata karena ia perempuan, tetapi karena ia manusia yang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga.
Meski tempatnya bekerja sangat menjunjung tinggi semangat peliputan, keselamatan jurnalis tetap menjadi prioritas. Ia pernah mengalami sendiri bagaimana redaksi memberikan perlindungan saat meliput krisis di Papua. Mulai dari masker, tim pendamping, hingga keputusan untuk menarik jurnalis dari lokasi jika situasi dinilai membahayakan nyawa. Semua upaya itu dilakukan agar jurnalis tetap merasa aman saat bertugas di lapangan.
Ia berharap publik bisa memahami bahwa pendekatan yang dilakukan jurnalis perempuan terhadap narasumber bukanlah bentuk ajakan terhadap kekerasan, baik secara verbal maupun nonverbal. Apa yang kerap dianggap ‘terlalu ramah’ atau ‘terlalu dekat’ sebenarnya merupakan bagian dari cara kerja profesi ini, yakni usaha membangun kepercayaan agar narasumber bersedia berbagi informasi.
Karena itu, menurutnya, yang perlu ditinjau ulang adalah cara pandang narasumber dalam merespons pendekatan tersebut. Ia menekankan bahwa jurnalis perempuan datang sebagai profesional, bukan sebagai pihak yang menginginkan lebih dari hubungan kerja.
Maka, penting bagi narasumber, khususnya laki-laki, untuk menyadari bahwa interaksi yang terbangun selama proses peliputan semestinya dibingkai dalam konteks kerja. Ia hanya menjalankan tugasnya, dan berharap tidak ada lagi prasangka atau perlakuan keliru yang lahir dari anggapan yang tidak berdasar.
Kesadaran ini tentu perlu didukung oleh perlindungan hukum yang jelas. Untuk itu, sudah terdapat beberapa aturan yang telah disahkan untuk menjadi payung pelindung yang melindungi para jurnalis dan pekerja lainnya. Peraturan ini tertulis di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 terkait Pers untuk melindungi dan meningkatkan kemerdekaan Pers yang memiliki bunyi bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum, dan setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Selain aturan Undang-Undang tersebut, terdapat pula Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang memiliki tiga hal utama yang menjadi fokus dalam aturan hukum ini, yaitu melindungi keselamatan tenaga kerja, menjamin penggunaan peralatan kerja yang aman, dan meningkatkan kesejahteraan serta produktivitas nasional.
Beberapa contoh aturan ini menjadi salah satu usaha untuk melindungi para masyarakat yang merupakan jurnalis di Indonesia. Namun, sayangnya dengan adanya aturan ini tidak meningkatkan efektivitas dalam memberantas permasalahan yang ada. Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari masyarakat tidak bisa hanya diam mengandalkan hukum yang telah diterbitkan.
Tetapi, kita bisa berkontribusi sebagai seseorang yang memiliki kesadaran untuk saling menjaga martabat antar sesama, membagi peran di masyarakat untuk saling melindungi satu sama lain, dan melaksanakan segala aktivitas sesuai dengan norma dan aturan yang telah tercipta sebelumnya.
Sangat disayangkan apabila kita kekurangan sumber daya jurnalis perempuan yang bisa menjadi kacamata baru dalam melihat suatu kasus hanya karena diakibatkan oleh adanya permasalahan yang sebenarnya bisa kita benahi bersama dengan menjadi masyarakat yang bermoral baik dan menghargai satu sama lain.
Kita pun dapat mengusulkan untuk memperkuat ruang aman ini. Dimulai dari langkah konkret seperti meningkatkan literasi mengenai etika kerja jurnalis, membangun sistem redaksi yang terbuka serta akses yang tersosialisasikan dengan baik kepada para jurnalis yang hendak bersuara, hingga mendorong redaksi untuk lebih aktif dalam memajukan kesejahteraan dan keamanan jurnalis baik secara mental maupun fisik.
Semua ini juga perlu didukung oleh kesadaran kolektif masyarakat, baik sebagai narasumber maupun sebagai warga biasa, untuk menghargai profesi jurnalistik. Dengan saling mendengarkan, menghargai batasan antar sesama, dan memberi ruang untuk menumbuhkan keberanian memberikan pendapat, menjadi jembatan indah untuk menunjang kenaikan hak hidup dan kenyamanan para pekerja, salah satunya para jurnalis perempuan.
Penulis : Michelle Jocelyn dan Syanie (Mahasiswa UMN)