Palapanews.com – Di tengah gelapnya kekuasaan yang seringkali tertutup kabut kepentingan, jurnalis hadir sebagai penunjuk jalan dan benteng kebenaran yang menuntun masyarakat melihat fakta, serta menjaga bangsa dari kerusakan karena kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, menjadi penunjuk jalan dan benteng kebenaran berarti menanggung risiko untuk dibungkam, diintimidasi, bahkan dibunuh.
Kini, pada periode transisi peralihan masa pemerintahan Jokowi ke Prabowo Subianto sebagai pemenang pemilu 2024 menimbulkan sebuah pertanyaan tentang harapan akan perlindungan bagi jurnalis. Keselamatan jurnalis bukan hanya perihal nyawa, tetapi tentang kebebasan untuk bekerja tanpa merasa terancam.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 membuka penglihatan kita kepada kenyataan sebenarnya di lapangan. Kekerasan terhadap jurnalis masih menjadi isu yang kerap kali terjadi dan menjadi ancaman serius sedari dulu, bahkan pada periode peralihan masa kepemimpinan yang juga penuh diiringi dengan janji-janji demokrasi.
Pertanyaannya, apakah rezim baru mampu menjamin keselamatan jurnalis? Ataukah terang itu terancam meredup dan garam itu kehilangan identitasnya?
Ancaman yang terjadi kepada jurnalis selalu melekat dengan kegiatan politik yang sedang berjalan. Laporan indeks keselamatan jurnalis 2024, menyebutkan sepanjang tahun 2024 sebanyak 314 kasus kekerasan pernah terjadi kepada 167 jurnalis. Di antaranya 46% kasus pelarangan liputan, 36% pelarangan pemberitaan, dan 35% pelecehan verbal, 21% penghapusan hasil liputan, 20% kekerasan fisik, 11% perusakan dan perampasan alat, 7% serangan digital dan bentuk kekerasan seperti intimidasi, kekerasan fisik, dan serangan siber.
Survei yang dilakukan kepada 760 jurnalis mengungkap terdapat 79% mengaku merasa tertekan dan 66% menjadi lebih berhati-hati untuk memproduksi berita selama periode transisi kekuasaan dan pelaku yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis berasal dari masyarakat (23%), buzzer (17%), dan polisi (13%).
Ancaman kekerasan justru bukan dari aparat yang lebih besar melainkan justru dari masyarakat itu sendiri. Namun, kasus kekerasan yang terjadi pada periode transisi jauh berbeda yaitu pada Laporan indeks keselamatan jurnalis 2024, menyebutkan terdapat 18% atau 136 jurnalis yang mengalami kekerasan, dengan jenis kasus tertinggi yang serupa dan persentase yang tidak jauh selisihnya yaitu 44% pelarangan liputan.
Kasus yang telah terjadi belakangan ini sangat mempengaruhi posisi tingkat kebebasan pers negara kita di mata dunia, “Indonesia berada di peringkat 111 dari 180 negara, dengan skor 51,15,” (Reporters Without Borders, 2024).
Sangat memperlihatkan posisi dan kondisi bahwa negara kita masih benar benar memiliki tantangan yang besar dengan peringkat menengah, sehingga masih banyak yang harus diperbaiki untuk menekan angka kekerasan yang terjadi kepada jurnalis dan juga meningkatkan peringkat negara kita.
Namun, ini bukan hanya sekedar tentang peringkat, tetapi tentang bagaimana negara kita yang dikatakan sebagai negara demokrasi secara formal tapi masih minim dalam penerapannya.
Pelaku Kekerasan Pada Masa Ketidakstabilan Politik
Proses berjalannya pergantian penguasa sering kali berkaitan dengan adanya pengendalian informasi yang tersebar di kalangan masyarakat. Tujuannya adalah untuk menguntungkan satu pihak, sehingga pembatasan dan pembungkaman kerap terjadi terhadap jurnalis.
Hal ini terjadi karena jurnalis memiliki pengaruh besar dalam mengelola informasi di tengah masyarakat. Sudah disebutkan bahwa 136 jurnalis mengalami kekerasan selama masa transisi, dan data di atas menunjukan bahwa selama masa periode transisi, pelaku yang paling banyak terlibat berasal dari buzzer atau tim sukses pasangan calon presiden sebesar (38%) dan diikuti individu atau kelompok dengan motif pribadi (32%).
Pada masa transisi kekuasaan pembentukan narasi publik dilakukan secara intensif untuk mengendalikan opini publik terhadap penguasa. Situasi ini menjadi sangat sensitif bagi beberapa pihak yang berkepentingan, terutama pihak-pihak yang sedang berusaha mengendalikan opini publik dan menguasai perspektif masyarakat melalui media massa.
Seperti yang dikatakan George Orwell, “Journalism is printing what someone else does not want printed, everything else is public relations.” Kutipan ini menyampaikan bagaimana jurnalisme dapat membuka dan membongkar apa yang telah disembunyikan oleh penguasa, seringkali apa yang disampaikan oleh narasi media tidak selalu sejalan dengan kelompok elit atau pengikut kekuasaan.
Itulah mengapa pelaku kekerasan terhadap jurnalis selama masa transisi didominasi oleh buzzer dan juga diikuti dengan persentase tertinggi ke-2 yaitu individu atau kelompok dengan motif pribadi (32%). Ironisnya ada individu yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis dengan motif pribadi karena terpengaruh oleh pengendalian opini yang dibuat oleh penguasa.
Masa Depan Jurnalis Di Bawah Pemerintahan Baru
Kecemasan yang muncul adalah bentuk respon bagaimana kebebasan dan hak bagi jurnalis masih terancam, berdasarkan data yang disampaikan oleh Laporan Indeks Keselamatan jurnalis 2024, ditemukan perasaan optimisme terhadap kebebasan berpendapat pada pemerintahan yang akan datang, dengan skala 1-10 tingkat optimisme tertinggi sebanyak 25% dengan skala 8, lalu persentase 16% terdapat kesamaan dengan skala 9 dan 7 tingkat optimismenya.
Tingkat optimisme jurnalis juga mempengaruhi kinerja jurnalis dalam berekspresi dengan merasa akan lebih berhati-hati. Pengaruh paling besar adanya ketidakoptimisan yang dirasakan jurnalis karena kurangnya perhatian pemerintah dan juga penegakan hukum.
Celakanya Perlindungan Jurnalis Di Bawah Bayang-Bayang Hukum Yang Ambigu
Meski kebebasan pers dijamin oleh konstitusi, perlindungan nyata bagi jurnalis di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memang menjadi dasar kebebasan pers, tapi sayangnya aturan ini belum menyediakan mekanisme perlindungan konkret bagi jurnalis yang menghadapi kekerasan, intimidasi, atau kriminalisasi.
Justru, keberadaan UU ITE dan KUHP dengan pasal-pasal yang bisa ditafsirkan berbeda-beda kerap digunakan untuk membungkam kritik, termasuk dari kalangan jurnalis. Ditambah lagi, lemahnya keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis terutama bila pelakunya aparat atau pendukung kekuasaan membuat situasi semakin memburuk.
Dalam masa pemerintahan Prabowo yang akan datang, tantangan besar muncul: apakah akan meneruskan pola pembiaran ini, atau melakukan perubahan yang nyata?
Beberapa solusi yang bisa ditempuh adalah merevisi pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE dan KUHP serta memperkuat posisi Dewan Pers agar dapat mengeluarkan rekomendasi yang bersifat mengikat. Pemerintah juga perlu membangun sistem tanggap darurat untuk jurnalis yang menghadapi ancaman, termasuk mekanisme pelaporan kekerasan yang cepat dan transparan.
Perlindungan bagi jurnalis tak hanya soal menjaga keselamatan fisik, tapi juga perlindungan hukum, keamanan digital, dan dukungan psikologis. Jika negara gagal memenuhi tanggung jawab ini, maka masa depan kebebasan pers di era pemerintahan baru justru sangat terancam.
Penulis : Triosan Molo (Mahasiswa UMN)
Daftar Pustaka
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. 2024. Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024.
Maria Ressa. 2021. Without facts, you can’t have truth. Without truth, you can’t have trust. Without trust, we have no shared reality, no democracy.
Orwell, G. 1946. The freedom of the press. Dalam Critical essays.
Reporters Without Borders. 2024. World Press Freedom Index 2024.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).