Palapanews.com – Finansial kerap kali menjadi sebuah permasalahan dan juga perbandingan dalam hidup. Ketika berbicara tentang keselamatan jurnalis, bayangan kita seringkali terbatas pada kekerasan fisik, seperti pemukulan saat meliput demonstrasi, doxing karena memberitakan korupsi, atau pembungkaman dengan ancaman.
Namun, ada bentuk kekerasan yang lebih senyap, yaitu ketidakamanan finansial. Di tengah situasi media yang semakin tidak menentu dan anggaran redaksi yang ketat, jurnalis kerap harus memilih antara idealisme atau isi piring nasi.
Laporan Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang disusun Yayasan Tifa menunjukkan bahwa 44% kekerasan terhadap jurnalis berbentuk pelarangan liputan, dan hal ini sering kali terkait dengan posisi mereka sebagai jurnalis lepas atau pekerja tidak tetap (freelancer).
Dalam banyak kasus, ketidakstabilan finansial jurnalis membuat mereka tidak punya pilihan selain tunduk pada tekanan, bahkan saat integritas pemberitaan terancam.
Dalam wawancara dengan salah satu jurnalis media nasional berinisial R, terungkap bahwa kesejahteraan finansial masih menjadi persoalan utama. Menjadi jurnalis merupakan cita-cita masa kecil R yang kini telah mengabdi di dunia pers selama lebih dari dua tahun baik di media online, hingga beralih ke televisi.
Namun, di balik idealisme dan semangatnya, realitas finansial tidak seindah yang dibayangkan, “Lebih tepatnya dicukup-cukupin” jawabnya saat ditanya mengenai upah yang diterima selama menjadi jurnalis. Upah yang pas-pasan masih harus diakali dengan cermat untuk membayar kos, listrik, hingga kebutuhan harian lainnya. Sebagai jurnalis lajang ia masih bisa bertahan.
Namun, ia menyadari bahwa rekan-rekannya yang sudah berkeluarga menghadapi tekanan yang jauh lebih besar. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya mengambil pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan rumah tangga. Ini bukan merupakan fenomena yang langka, melainkan kenyataan yang akrab dalam dunia jurnalistik.
Bahkan, tunjangan kerja seperti jaminan kesehatan pun tidak merata, sebagian hanya mendapatkan BPJS dasar, sebagian lainnya mengandalkan sistem reimburse atau asuransi swasta. Dan soal lembur? “Orang kantoran bisa dapat lemburan hanya dengan duduk depan laptop. “Masa kami yang jilat aspal nggak dapat apa-apa..?,” keluh R.
Di balik layar berita yang setiap hari kita baca dan tonton, ada para pekerja yang mempertaruhkan waktu, tenaga, dan harga diri mereka dengan perlindungan yang nyaris tidak ada. Ketika jurnalis hidup dalam ketidakpastian ekonomi yang ada, bukan hanya kehidupan mereka yang terancam, tapi juga kualitas berita yang mereka hasilkan.
Seorang jurnasli yang harus membayar sewa, menghidupi keluarga, dan tak tahu kapan gajinya turun bisa dengan mudah dijerat oleh praktik tidak etis.
Dalam kondisi ini, ruang bagi kompromi integritas terbuka lebar, baik untuk “dibayar agar diam”, atau “dibayar untuk memuji”. Lebih dari sekedar persoalan kesejahteraan, krisis finansal juga bisa menjadi ladang subur bagi korupsi dalam pemberitaan, sebuah ancaman nyata bagi demokrasi.
Salah satu temuan penting dalam Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 adalah lemahnya perlindungan dari serikat pekerja. Hanya 43% dari 760 jurnalis yang tergabung dalam serikat atau memiliki akses ke perlindungan hukum saat menghadapi tekanan redaksi atau pihak luar.
Pertanyaannya, apakah serikat pekerja media masih relevan dan cukup kuat memperjuangkan keamanan, terutama finansial para anggotanya?
Metara News mengungkapkan bahwa banyak jurnalis dibayar di bawah standar minimum, bahkan ada yang hanya dibayar per berita yang tayang. Ketidakpastian ini memaksa mereka mencari penghasilan tambahan melalui pekerjaan sampingan seperti pengemudi ojek online atau berjualan daring.
AJI Jakarta juga menemukan 43 responden dengan pendapatan di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta tahun 2023. Sebagian besar responden, yakni 86 jurnalis menjawab jika take home pay atau gaji yang mereka terima dalam sebulan tidak layak.
“Kami menemukan responden yang menyebut mendapat upah dalam sebulan hanya Rp 2.000.000. Ini sangat jauh dari sandar UMP yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta,” ucap Irsyan.
Jurnalis setiap hari menulis tentang krisis, kemiskinan, penggusuran, ketimpangan. Namun tak ada yang menulis tentang krisis mereka sendiri. Ironisnya, krisis ini nyaris tak dianggap sebagai bagian dari isu keselamatan. Padahal, ketika jurnalis tak bisa hidup dari profesinya, maka publiklah yang kehilangan hak atas informasi yang jujur dan berintegritas.
Sudah saatnya publik dan industri media melihat jurnalisme bukan hanya sebaga panggilan hati, tapi sebagai profesi yang butuh perlindungan nyata, terutama perlindungan finansial.
Penulis : Jasmine Andrea Marveline dan David Tse (Mahasiswa UMN)
Daftar Pustaka
Yayasan Tifa. (2024). Indeks keselamatan jurnalis Indonesia 2024.
AJI Jakarta. (2023). Laporan survei upah jurnalis lepas di Jakarta 2023. Aliansi Jurnalis Independen Jakarta.
Metara News. (2025, Mei 1). Senjakala media dan rapuhnya pilar demokrasi: Nasib buruh jurnalis di May Day 2025.