NAHDLATUL ULAMA beberapa hari ini menjadi bahan perbincangan yang menarik. Kerap kali organisasi sosial keagamaan ini menjadi bulan-bulanan dalam setiap eskalasi politik negara ini. Namun, beberapa ulama yang dituakan di tubuh NU cakap mengimbangi akselerasi (memainkan peran) sebagai negarawan dalam menyelesaikan persoalan bangsa ini.
Tragis rasanya jika orang-orang di dalam tubuh NU itu sendiri memanfaatkan NU sebatas untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Padahal di dalam organisasi NU, pasti ada mekanisme pengambilan keputusan yang sifatnya strategis dan harus melalui musyawarah para ulama.
Sudah banyak kasus, misalnya Nusron Wahid yang kerap mengatasnamakan NU dalam setiap manuver politiknya. Dan bahkan baru-baru ini beredar sebuah unggahan foto di sosial media (twitter) @NusronWahid1. Dalam akun twitter itu, Nusron yang baru saja sowan ke Rais Amm PBNU KH Makruf Amin, mengetikkan cuitannya âSuasana silahturahmi penuh keakraban & layaknya anak dan orang tua. Tidak seperti yg dipersepsikan org selama ini.â
Sepintas jika melihat kicauan ini, Nusron melakukan pencitraan positif, pasca-berbenturan pendapat dengan organisasi Islam lainnya dalam kasus blunder Al Maidah 51 yang dilontarkan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Padahal, kabar yang beredar justru ia dinasehati tentang sikapnya yang kurang sopan dengan para kyai di NU, yang tua-tua. Sudah banyak sejumlah pengurus NU marah dengan sikap Nusron, yang kerap secara sepihak mengatasnamakan NU.
Masih ingat pernyataan Nusron tentang bahwa âyang hanya bisa menafsirkan Al Maidah 51 itu ya Ahok,â Pernyataan ini dianggap menghina para ulama oleh sebagian orang, sementara para ulama juga ada yang ahli tafsir Al Qurâan. Dan kasus ini berujung pada penyerangan opini oleh sekelompok orang ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disitu juga ada KH Makruf Amin sebagai Ketua Umumnya, hingga muncul petisi untuk membubarkan MUI.
Kasus lainnya yang sempat beredar adalah kegiatan âPerayaan Hari Santri sekaligus Deklarasi Pilgub Damaiâ yang digelar RelaNU (Relawan Nusantara) di Wisma Antara, Merdeka Selatan, Jakarta pada Jumat (21/10/2016) lalu.
Disitu ada beberapa tokoh NU yang langsung menyebut jabatannya di NU. Yakni KH Masdar Farid Masâudi Rais Syuriah PBNU. Kemudian adalagi Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin. (lihat: http://detik.com/news/berita/3326751/berkalung-sarung-ahok-hadiri-peringatan-hari-santri-bersama-relanu & http://beritasatu.com/nasional/394230-rais-syuriah-pbnu-beda-pilihan-politik-jangan-rusak-kebhinekaan.html )
Padahal sebelumnya KH Miftahul Akhyar, Wakil Rais Amm PBNU sempat menanyakan kegiatan ini. âApa betul ini? Deklarasi Dukungan? Kenapa harus bawa NU dan jabatan?â Begitu tanyanya. Tapi pertanyaan ini tidak dijawab. Informasi ini beredar luas.
Jika dilihat pertanyaan yang diajukan sangat rasional, dan wajar pertanyaan itu diajukan KH Miftahul selaku Wakil Rais Amm, jabatan lebih tinggi dari Rais Syuriah. Kenapa rasional, sebab jika memang kegiatan itu agendanya adalah Deklarasi Pilgub Damai, seharusnya penyelenggara menghadirkan KPUD dan Bawaslu Jakarta, berikut dua calon gubernur Jakarta lainnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Anies Baswedan, bukan cuma Ahok.
âKesannya malah silaturahmi tim pemenangan Ahok.â Lagi-lagi NU dijual. Ini tidak bisa didiamkan terus-menerus. Sebagai warga NU, kami meminta agar PBNU melakukan perombakan kepengurusan dan memberikan sanksi keras terhadap mereka yang melanggar keputusan tertinggi organisasi.
Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, NU sebagai organisasi dan para pimpinan tertinggi di NU akan terus menjadi bulan-bulanan, yang berefek pada imej organisasi NU.
âSemoga para kyai yang juga orangtua kami selalu diberikan kesehatan dan kemudahan dalam menjalankan amanah, menjaga NU dan Bangsa ini.â Salam hormat dari kami di Sulawesi. Tulisan ini merupakan wujud kegelisahan kami terhadap kondisi NU kini. (*)
Penulis: Andi Fatimah, Penggiat Perempuan NU dari Sulsel