Kyai Banten Diajak Kembali Ingat Sejarah

Palapanews.com- Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut satu, KH Ma’ruf Amin (KMA) mengajak para kyai Banten untuk kembali mengingat sejarah tentang bangsa ini. Hal itu disampaikan KMA dalam Silaturahmi Nahdliyyin Kabupaten dan Kota Serang, serta Kota Cilegon, di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara (Penata) Serang, Ahad (16/12/2018).

“Kita harus belajar dari sejarah, bagaimana para pendahulu kita membangun kesepakatan, mitsaq. Berupa NKRI dan Pancasila. Nabi sendiri pernah melakukan mitsaq, kesepakatan untuk kedamaian Madinah,” paparnya.

Di Indonesia, menurut KMA, para ulama juga menjaga negara ini dengan luar biasa. Ketika Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus, beberapa bulan kemudian, di bulan Oktober, Belanda dan Sekutu ingin merebut Indonesia. Para Ulama yang dipimpin Rais Akbar mengeluarkan Resolusi Jihad yang melahirkan semangat Umat Islam untuk melawan penjajah Belanda.

“Ulama kita telah membangun kesepakatan tentang konsep dan dasar Negara ini. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila. Kita harus menaati dan menjaga kesepakatan itu. Jika dilihat dari isi Pancasila, apa negara ini islami, ya tentu Indonesia ini negara kebangsaan yang bertauhid, karena ada Sila Ketuhanan yang Maha Esa,” tandasnya.

Santri dan Kyai Lampau juga Banyak yang Jadi Birokrat

KMA juga mengingatkan para Nahdliyyin untuk tidak kagetan. Terbawa arus opini yang mendegradasi santri dan kyai. Seolah Santri dan Kyai tak layak jadi pemimpin, tak layak jadi politisi dan memimpin Birokrasi.

“Santri itu bisa jadi apa saja. Zaman dulu, Bupati dan Wedana itu Kyai, di Serang ada Kyai Sjam’un, Kyai Abdul Halim Bupati Pandeglang. Sekarang banyak juga santri dan kyai jadi Kepala Daerah. Jawa Barat dipimpin oleh Kyai. Wakil Gubernurnya Kyai. Jawa Tengah wakil Gubernur nya Kyai, putranya Mbah Moen. Jawa Timur juga dipimpin Nyai Khofifah, dia itu santriwati. Gus Dur juga pernah jadi Presiden. Jadi kalau Kyai dipilih jadi Wakil Presiden, bukan hal aneh,” ujarnya.

Karena itu, KMA pun mengajak masyarakat untuk membantah tudingan bahwa dipilihnya KMA sebagai Cawapres oleh Presiden Joko Widodo hanya akan jadi alat.

“Masa Saya jadi alat. Saya tentu paham politik. Sebab sejak muda saya sudah jadi anggota DPRD DKI, menjadi anggota DPR-MPR, menjadi Dewan Pertimbangan Presiden dua periode, menjadi Rais Amm PBNU, Ketua MUI, masa bisa diperalat. Saya menerima tawaran menjadi Wapres adalah untuk memperjuangkan kemaslahatan bangsa ini,” tandasnya.

Upaya pembelaan terhadap umat, kata KMA, dilakukan sejak lama dan banyak mendapat respon positif di era Presiden Jokowi.

“Saya pernah usul kepada Pak Jokowi, Ekonomi Islam itu sangat penting bagi ummat, sekaligus juga potensial untuk meningkatkan ekonomi nasional. Di antaranya adalah konsep bagi hasil. Kemudian Pak Jokowi setuju membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah. Saya usulkan juga agar Presiden langsung yang menjadi ketua Komitenya,” paparnya.

Dalam kesempatan lain, KMA juga meminta Pemerintah untuk perhatian kepada Pesantren, yang kemudian direspon menjadi RUU Pesantren.

“Saya bilang, Pak Jokowi, Pesantren-pesantren tradisional itu berdiri dan bergerak secara swadaya, mandiri. Sementara sekolah dan pesantren yang dibangun kelompok Wahabi, bantuannya berlimpah dari Saudi dan negara Wahabi lainnya. Maka saya usulkan agar pemerintah bisa membantu pesantren. Agar bisa berkembang juga. Karena butuh cantolan hukum dalam penggunaan APBN, maka diperlukan adanya UU Pesantren. Dan itu didengarkan oleh Pak Jokowi hingga lahirlah RUU Pesantren,” imbuhnya.

Karenanya, menurut KMA, sikap Presiden Jokowi yang responsif terhadap berbagai saran itu juga diakui oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra.

“Makanya Pak Yusril mengatakan, Pak Jokowi lebih mau mendengarkan ummat. Tapi kenapa Jokowi selalu dibilang anti Islam. Sampai-sampai dicaci-maki dihujat di pengajian dan khutbah-khutbah jumat,” imbuhnya.

Padahal, menurut Ulama, kita tak boleh menuding sesama muslim sebagai orang kafir.

“Orang Islam dikafir-kafir. Padahal dakwah, berkhutbah itu harus lemah lembut. Menegakkan Ammar Ma’ruf itu harus dilakukan secara santun. Kita melihat di negeri ini sedang berkembang pemahaman keagamaan yang membahayakan. Maka, jangan sampai Pilpres ini malah melahirkan pemimpin yang tidak selaras dengan Ahli Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) nanti bisa saja Aswaja hilang di Indonesia,” kata dia.

KMA menyontohkan Iran. Di sana, tempat berdakwahnya imam Ghazali, karena ganti penguasa, kemudian dimarginalkan Aswaja. Di Arab juga sama, di sana dulu tempat mengajinya para ulama Aswaja. Ketika Saudi berkuasa, ditetapkan Wahabi sebagai madzhab negara. Akhirnya Aswaja dikikis.

“Kita harus mulai door to door, menemui kyai-kyai kampung, mendekati warga agar berjuang bersama untuk memenangkan Pilpres ini,” tandasnya. (red)

Komentar Anda

comments