PERINGATAN hari perempuan internasional dari tahun ke tahun meninggalkan jejak euforia tersendiri bagi penggiat keadilan dan kesetaraan gender di setiap negara. Berlandaskan kesenjangan dan diskriminasi yang terjadi antara lelaki dan perempuan dalam memperoleh akses dan kesempatan, juga ketimpangan yang terjadi di segala sektor kehidupan, maka bermacam-macam tuntutan disuarakan.
Di Indonesia sendiri, penuntasan kasus yang berkaitan dengan penyuaraan keadilan dan kesetaraan gender sangat jauh dari kata tuntas. Terkadang respon negatif lebih sering dituai ketimbang respon positif dari segala lini. Penyuaraan keadilan dan kesetaraan gender ini diasumsikan sebagai sebuah produk yang seolah-olah radikal dalam bergerak dan menuntut hak. Dan hal ini hanya diprakarsai oleh sebelah pihak saja yaitu perempuan, yang dalam asumsi sangat erat kaitannya dengan tuntutan keadilan dan kesetaraan gender.
Keadilan dan kesetaraan gender telah mencuri ruang interpretasi tersendiri di masing-masing kepala. Tergambarkan hanya perempuan yang membutuhkan konsepsi dan gerak tersebut, padahal laju penerapannya sangat dibutuhkan bagi kemaslahatan bersama. Tak hanya terbilang untuk satu jenis kelamin, Konsepsi ini dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan hak semua manusia sebagai makhluk yang merdeka.
Perlu diingat, bahwa yang menjadi permasalahan tidak tuntasnya perkara keadilan dan kesetaraan gender adalah relasi kuasa. Menjadi jelas jika relasi kuasa seseorang atau pihak tertentu terhadap seseorang atau pihak lainnya, maka sudah pasti siapa merasa menguasai siapa akan terjadi. Dan jika hal itu sudah terjadi maka akan dengan sangat mudahnya ruang ketidakadilan masuk dari segala penjuru. Perlu dipahami, relasi kuasa adalah penentu segalanya. Boleh jadi, jika hari ini yang dikonstruksikan secara dominan adalah kaum laki-laki maka tidak menutup kemungkinan suatu saat perempuan juga dapat dikonstruksikan sebagai dominasi terkuat dalam segala lini kehidupan. Namun perjuangan keadilan dan kesetaraan gender bukanlah perjuangan yang mengkehendaki salah satu pihak dari tatanan tersebut menjadi predator bagi pihak lainnya. Semangat dan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender adalah semangat akan suatu konsepsi keadilan dan kemaslahatan bersama.
Bicara konsepsi keadilan, sebenarnya tidak perlu jauh-jauh mengimpor konsepsi dari luar. Jika kita dapat menggali lebih dalam, sebuah konsepsi akan keadilan telah tertuang di dalam falsafah negara kita yaitu pancasila. Dalam lima butir sila tersebut salah satunya terdapat sebuah rumusan tentang keadilan yang menyeluruh. Keadilan yang tidak memihak satu golongan saja. Keadilan yang dapat dirasakan oleh setiap individu sebagai elemen terkecil dari sebuah negara. Keadilan yang buta karena tidak memandang salah satu etnis, suku, budaya, ras, jenis kelamin dan agama.
Pancasila telah lama menjadi sebuah dasar negara yang sempurna. Semua nilai yang terangkum didalamnya merupakan khazanah kekayaan bangsa yang beradab dan bermartabat. Namun sayangnya, pancasila saat ini bagaikan barang usang yang tidak terpakai. Ditinjau dari sisi manapun, kelima butir sila yang terkandung didalamnya telah meliputi semua aspek kehidupan. Namun karena tidak dimaknai sebagai pandangan hidup dalam bernegara, maka seolah kita merasa kekeringan guyuran falsafah hidup, kekurangan konsepsi dalam banyak hal termasuk dalam konteks keadilan.
Dalam sudut pandang holistik, pancasila seharusnya dapat dimaknai sebagai solusi atas permasalahan yang ada. Namun sayangnya, pekerjaan rumah kita semakin banyak tapi tidak juga menjadikan formula dalam pancasila sebagai penyelesaian terbaik. Jika kita runtut kepingan permasalahan kesenjangan yang tercecer, kita akan menemukan peristiwa demi peristiwa yang tidak ada titik temunya. Menelusuri sejarah yang mengorbankan nilai keadilan di dalamnya, adalah ketika kita mengingat tragedi mei 1998. Kerusuhan yang terjadi dan pelanggaran HAM masa lalu seolah memberikan efek traumatis yang tidak berujung. Bukan bermaksud membuka luka yang menganga, namun ironinya, tidak ada luka yang kembali dibuka jika sebenarnya tidak pernah ada obat atau penawar luka tersebut hingga luka sembuh. Tidak pernah ada penyelesaian dan kepastian hukum atas tragedi pelanggaran HAM yang terjadi dan sebagian besar korbannya adalah perempuan.
Benar adanya kita harus berjalan ke arah depan. Tidak baik terus mengutuki kegelapan masa lalu. Namun perlu diingat, sejarah tidak akan pernah bisa dibungkam. Sejarah akan menemukan jalannya sendiri untuk terungkap. Sebagaimana tidak tuntasnya kepastian hukum di masa lalu, mungkinkah di masa kini dan mendatang segala persoalan yang berkaitan dengan keadilan dapat terakomodir?.
Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya meningkat pesat. Angka perkosaan dan diskriminasi lainnya terhadap perempuan juga ikut melonjak. Namun kondisi seperti ini hanya yang terlihat di permukaan saja. Persis seperti fenomena gunung es. Yang terlihat, terlaporkan dan yang diketahui hanya puncaknya saja, tetapi jika kita bisa melihat dasar dari gunung es yang tidak terlihat maka akan ditemukan lebih banyak lagi fenomena yang tidak terungkap dan jumlahnya lebih besar dari sisi puncak gunung es yang terlihat. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya keadilan sosial. Dan konstruksi masyarakat masih menyepakati perihal sosok superior dan sosok inferior.
Masih bicara perkara keadilan, Franz Magnis Suseno merumuskan bahwa struktur sosial adalah hal pokok yang dapat mewujudkan keadilan sosial. Itu artinya struktur sosial merupakan pokok penting yang harus terlebih dahulu dibenahi. Ketiadaan akan pemahaman keadilan dan kesetaraan gender harus dimusnahkan. Tidak ada lagi manusia kelas pertama maupun kelas dua seperti pemikir-pemikir abad pertengahan yang diceritakan simone de beauvoir yang masih sangat mengagungkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Struktur sosial sebagaimana konsep ideal yang ada harus menjunjung keadilan sosial yang tidak timpang sebelah. Nilai-nilai pancasila yang terkandung didalamnya harus diresapi dan di implementasikan sebagai wujud pemahaman mendalam terhadap falsafah dasar negara. Dengan begitu, besar harapan tuntutan akan keadilan dan kesetaraan gender tidak lagi dinilai sebagai sesuatu yang bersifat radikal dan hanya memihak terhadap salah satu jenis kelamin saja, tetapi lebih daripada itu, konsepsi ini sudah lebih dulu hadir dari rahim pancasila. oleh karena itu, keberadaannya meniadakan segala bentuk kesenjangan demi terwujudnya kedamaian di atas muka bumi ini. (*)
Oleh: Megawaty, Wasekbid Kajian dan Advokasi Kohati PB HMI 2016-2018