Aroma Busuk Sampah Kota Tangsel Terus Berhembus

Palapanews.com- Tangerang Selatan (Tangsel), Provinsi Banten, yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta, pasca Lebaran Idulfitri jalan-jalannya semakin macet, sementara selokan dan gorong-gorong pun banyak yang mampet.

Seorang teman, Anwar Rawil, dari Bogor, berkomentar kepada saya, ā€œMengapa Kota Tangsel terasa lebih panas, macetnya makin parah, dan beraroma tidak sedap pula? Bau amis, busuk!ā€

Saya jawab sekenanya saja, ā€œMungkin ini dampak dari kota-kota tetangga di seputaran Jabotabek.ā€ Teman saya itu bisa menerima alasan soal cuaca panas dan kemacetan, tetapi tidak soal bau menyengat. Ia menyela dan menolak jika aroma busuk yang memenuhi atmosfer Tangsel adalah produk dari luar kota. Ia yakin, itu ā€œasli produkā€ masyarakat Tangsel sendiri. Saya pun tak keberatan dengan fakta tersebut.

Produksi sampah Kota Tangerang Selatan mencapai sekitar 800–1.000 ton per hari pada hari biasa. Jumlah itu meningkat selama libur Lebaran, yaitu sekitar 40–50 ton lebih banyak. Totalnya bisa mencapai 840–1.050 ton per hari. Peningkatan ini disebabkan oleh naiknya aktivitas masyarakat selama liburan.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, per 24 Juli 2024, dari 290 kabupaten/kota di Indonesia, jumlah timbunan sampah nasional mencapai 31,9 juta ton. Dari jumlah tersebut, 63,3% atau 20,5 juta ton dapat terkelola, sementara sisanya, yaitu 35,67% atau 11,3 juta ton, tidak terkelola.

Untuk mengatasi persoalan sampah yang terus meningkat sebagai konsekuensi bertambahnya jumlah penduduk, ditambah keterbatasan tempat pembuangan dan pengolahan sampah, dibutuhkan solusi yang serius dan sistematis.

Masalah sampah di Tangsel menjadi sorotan serius. Tidak hanya berdampak pada lingkungan dan kesehatan masyarakat, tapi juga menyeret nama pejabat dalam kasus korupsi. Dugaan korupsi dana sampah sebesar Rp75 miliar yang melibatkan pejabat Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel menunjukkan bahwa pengelolaan sampah memerlukan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik.

Teknologi pengelolaan sampah di berbagai negara sudah sangat maju. Termasuk di Indonesia sendiri, telah dikembangkan teknologi konversi sampah menjadi energi—baik uap maupun listrik. Salah satu contohnya adalah teknologi dari Tiongkok.

Beberapa negara juga mulai mengembangkan robot untuk membantu proses pengelolaan sampah. Mesin penghancur sampah yang dapat mengubah sampah menjadi energi adalah contoh teknologi yang bisa diterapkan untuk mengurangi volume sampah sekaligus menghasilkan manfaat.

Namun, di Tangsel, tumpukan sampah masih terlihat mencolok hampir di semua ruas jalan, bahkan di bawah jembatan Flyover Ciputat yang tampaknya sudah permanen menjadi tempat pembuangan liar.

Warga cemas dan geram menyaksikan pemandangan yang tidak layak itu. Idealnya, sebuah kota memiliki taman-taman terbuka hijau yang sehat dan bersih, bukan aroma busuk yang menyebar ke mana-mana. Belakangan, banyak warga mengeluh rentan flu dan batuk—mungkinkah ini dampak dari sampah yang setiap menit menyebar bau busuk?

Beberapa jemaah Masjid Al-Jihad Ciputat bahkan mengeluh karena aroma tak sedap tercium hingga ke dalam masjid, terbawa hembusan angin. Belum lagi bau dari Pasar Ciputat yang telah lama menjadi sumber aroma busuk yang tak layak ada di kota yang ingin disebut ā€œmaju.ā€

Anak-anak balita, yang sistem imunnya masih rentan, sangat mungkin terdampak kondisi lingkungan seperti ini. Mereka yang semestinya dilindungi, justru menjadi korban pertama dari pembiaran dan kelalaian.

Sebelum semuanya terlambat, wahai Bapak/Ibu yang sedang berkuasa—Wali Kota, dinas terkait, dan DPRD Kota Tangsel yang terhormat—segeralah berbenah. Mumpung masih ada waktu.

Tabik

Oleh: MS. Tjik.NG, Koordinator Pengajian Daulat Rakyat

Komentar Anda

comments