Politik Kekuasaan Jelang Pilkada Serentak

Palapanews.com- Mungkin kita merasakan ada fenomena aneh pada Pilkada tahun 2024 ini, khususnya di Provinsi Banten. Betapa tidak ? Sosok Airin yang notabene adalah Keluarga Rawu (Bu Atut), dan terkenal dengan kemampuan managemen politik dan finansial yang mumpuni, ternyata kesulitan untuk mendapatkan koalisi partai agar bisa maju dalam kontestasi Pilgub Banten 2024. Sejauh ini, Parta Golkar belum mendapatkan satu pun partai yang bisa menjadi teman Koalisi dalam mengusung Airin.

Demikian juga dengan Arief R. Wismansyah, yang maju ke Pilgub Banten dengan rasa percaya diri yang tinggi karena kemampuan finasialnya, seolah tidak berdaya untuk mendapatkan perahu agar bisa berlayar. Bahkan, Partai Demokrat yang menjadi tempatnya untuk berlabuh selama ini, Jumat kemarin mengumumkan dukungan kepada Koalisi Banten Maju (KBM), sekaligus menghempaskan harapan Arief R.Wismansyah untuk maju dari Partai Demokrat.

Fakta lain yang membuat kita terheran-heran juga adalah karena di Banten ini justru pasangan yang elektabilitasnya rendah yang mendapat dukungan dari mayoritas partai. Lazimnya kan yang mendapat dukungan mayoritas partai adalah yang elektabilitasnya paling moncer.

Berdasar Survey Litbang Kompas pada Bulan Juni 2024, Elektabilitas Airin Rachmy Diany menempati posisi tertinggi yaitu 38,3%, bahkan mengalahkan mantan Gubernur Banten Wahidin Halim (18,1%), Rano Karno (16,5 %), dan Mantan Walikota Tangerang Arief R.Wismansyah (6,9%). Andra Soni saat itu belum masuk sebagai kandidat yang disurvey oleh Litbang Kompas, Lalu A. Dimyati, hanya menempati posisi ke tujuh dengan elektabilitas 2,7%. Maka menjadi pertanyaan bagaimana mungkin, bakal calon yang pada bulan Juni 2024 bahkan belum dimasukan sebagai figur yang layak disurvey oleh Litbang Kompas, satu bulan kemudian justru mendapat dukungan dari mayoritas partai. Ini sungguh aneh bin ajaib.

Kondisi yang aneh atau tidak selazimnya ini, menurut saya mulai dirasakan pasca pengumuman dibentuknya Koalisi Banten Maju (KBM) oleh Gerindra, Nasdem, PSI, PKS, dan PAN pada akhir Juni 2024, dengan mengusung pasangan Andrasoni-Dimyati sebagai Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Sejak koalisi KBM terbentuk, dinamika koalisi partai terasa melamban dalam waktu yang cukup lama. Baru pada satu minggu terakhir, mulai menggeliat kembali. Namun, geliatnya ada pada kubu KBM. Partai Demokrat menyatakan dukungan resminya kepada KBM, sehingga menambah jumlah partai yang masuk dalam KBM. Sementara di kubu Golkar masih statis. Dinamikanya masih pada koalisi dengan PDIP. Lalu,
Sabtu kemarin juga, Andra Soni membuat pernyataan di media bahwa Dia dan A. Dimyati sudah diusung oleh 8 Parpol yaitu, Gerindra, Nasdem, PKS, PSI, PAN, PPP, Demokrat dan PKB. Kalau itu benar, maka tinggal tersisa Golkar dan PDIP. Artinya tidak ada dinamika yang positif yang dilakukan Golkar terkait koalisi partai pengusung. Ujungnya tetap hanya bisa maju dengan PDIP.

Fakta tersebut menambah keyakinan tentang fenomena politik yang tidak normal yang sedang terjadi di Provinsi Banten, yang akhirnya menuntun kita kepada pemikiran tentang politik kekuasaan, dimana Kekuasaan telah dijadikan instrumen politik untuk bergaining atau bernegoisasi dengan berbagai pihak, dalam rangka mencapai tujuan yaitu memenangkan calon yang diusungnya.

Menurut saya, Partai Gerindra tengah menjalankan politik kekuasaan itu. Dan, saya menilai sangat wajar jika Gerindra mengambil langkah itu. Karena Partai Gerindra tentu sudah menghitung tentang kekuatannya di Pulau Jawa. Jika bukan di Provinsi Banten, terus dimana Gerindra bisa menjadikan kadernya sebagai Gubernur ? Di DKI Saraswati dinilai akan sulit mengalahkan Anis (Nasdem-PKS). Di Jawa Barat, Dedy Mulyadi dinilai masih berat untuk mengalahkan Ridwan Kamil (Golkar). Di Jawa Tengah, Sudaryono, Ketua DPD Gerindra Jateng yang tadinya akan diusung sekarang telah dilantik menjadi Wakil Menteri Pertanian, dan itu mengisyaratkan Gerindra akan ikut mengusung Kaesang Pangarep (PSI) untuk menjadi Gubernur Jawa Tengah. Di Jawa Timur Gerindra juga sudah mendukung Khofifah (Golkar). Maka, kesempatan terakhir untuk Gerindra memploting kadernya di Pulau Jawa ya di Provinsi Banten. Secara politik, itu sangat rasional. Masa sih Partai Penguasa tidak punya Kader yang menjadi pemimpin di Pulau Jawa, yang merupakan Lumbung Suara di Indonesia ??? Itu kira-kira suara teman-teman di Gerindra.

Lalu, bagaimana selanjutnya yang akan terjadi ? Menurut saya ada dua kemungkinan, Pertama, karena Gerindra menyadari bahwa akan sangat berat bagi Andrasoni-Dimyati untuk bisa mengalahkan Airin, maka Gerindra akan mendorong para petingginya untuk kembali bernegoisasi dengan petinggi Partai Golkar. Bahkan mungkin sampai dengan melibatkan dua tokoh sentral di negeri ini. Jika pada akhirnya Petinggi Golkar menyerah, maka ada kemungkinan Golkar berpindah menjadi bagian KBM. Tentu saja itu akan dilakukan setelah menempatkan Airin pada posisi terhormat di Kabinet Jokowi. Ujungnya Andrasoni-Dimyati akan melawan kotak kosong.

Apabila bernegoisasi dengan petinggi Golkar gagal, saya berpikir Gerindra tidak akan menyerah begitu saja. Politik kekuasaan kemungkingan akan diarahkan untuk memindahkan PDIP ke KBM. Jawa Tengah, adalah wilayah yang akan dinegoisasikan dengan PDIP. Yang terjadi di Banten, kemungkinan besar akan dilakukan di Jawa Tengah untuk memenangkan pasangan Calon dari PDIP dan PSI.

Kemungkinan Kedua adalah apabila Golkar tetap ngotot memajukan Airin sebagai Calon Gubernur Banten, dan Gerindra juga gagal memindahkan PDIP ke KBM, maka saya berani memastikan, Airin akan memenangkan pertempuran. Golkar akan berhasil menjadikan Banten sebagai provinsi ketiga di Pulau Jawa yang dipimpin oleh kadernya.

Kita belum tahu apa yang akan menjadi ujung perjalanan koalisi partai ini. Apakah yang terjadi di Provinsi Banten ini merupakan hasil rancangan sebelumnya, atau memang berproses secara alamiah ? Kita juga tidak tahu. Yang kita tahu, sejak Pilres yang lalu, politik kekuasaan memang sudah dijalankan.

Wawan Kuswanto, Pengamat Dinamika Politik Banten

Komentar Anda

comments