PERUBAHAN! itulah harapan yang didengungkan sebagian masyarakat ketika menyaksikan Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Tangsel terpilih, Airin Rachmi Diany dan Benyamin Davnie untuk masa bakti 2016-2021, Rabu 20 April 2016. Harapan akan perubahan itu tentu saja tidak muluk-muluk. Sebab, terpilihnya Airin-Benyamin untuk kali kedua bukan tanpa alasan bagi pemilihnya.
Airin-Benyamin dinilai lebih mumpuni mengatasi persoalan Tangsel yang selama lima tahun kebelakang sudah digeluti oleh mereka dari hari-kehari. Ketimbang berspekulasi memilih Kepala Daerah baru yang “minim” pengalaman di Tangsel, masyarakat terlanjur “jatuh hati” pada Airin-Benyamin yang pada akhirnya memenangkan mereka secara mutlak dari kedua pasangan rivalnya Desember silam.
Kini, cerita itu sudah mutlak menjadi sejarah perjalanan kota pemekaran yang baru berumur 7 tahun ini. Rangkaian cerita itu menjadi bagian tak terpisahkan perjalanan Airin-Benyamin selama memimpin kota Pemekaran dari Kabupaten Tangerang ini. Lalu, tantangan apakah yang akan dihadapi oleh pasangan ini lima tahun mendatang? Baik yang datangnya dari internal pemerintahan atau dari eksternal alias masyarakat?
Pertama, kinerja birokrasi. Soal birokrasi adalah persoalan “klasik” yang kadung dihadapi oleh seluruh pemerintahan di Indonesia tak terkecuali Tangsel. Kinerja birokrasi Tangsel masih mendapat sorotan tajam, bukan hanya dari masyarakat tetapi datang dari Airin-Benyamin sendiri. Gejala ini tentu saja harus diantisipasi kedepannya. Sebab, birokrasi adalah ekskutor visi-misi Airin-Benyamin yang akan bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Apabila birokrasinya lambat dan “tidak konek” dengan Airin-Benyamin, dapat dipastikan visi-misi Airin-Benyamin selama masa kampanye kemarin hanyalah tonk kosong alias “ngibul”. Karena itu diperlukan birokrat yang menyembah kepada profesionalitas dalam kinerja, loyal kepada visi-misi Kepala Daerah dan yang paling penting memiliki integritas untuk tidak menjadi bagian oknum mafia proyek di kota Tangsel.
Dari ketiga kriteria tersebut, faktor integritas merupakan prioritas yang harus menjadi arus utama pertimbangan Airin-Benyamin untuk menempatkan Kepala Dinas yang akan membantu kinerja Airin-Benyamin lima tahun mendatang. Bukan oknum birokrat yang selama ini diduga menjadi kepanjangan tangan “mafia proyek”.
Kedua, stabilitas politik. Politik menjadi bagian tak terpisahkan dalam sebuah pemerintahan. Bagi Tangsel, stabilitas politik adalah prestasi tersendiri yang selama ini hadir mengisi keseharian kota yang berbatasan dengan Jakarta ini.
Hampir tidak terdengar adanya kisruh yang tajam antara pihak Eksekutif dan legislatif selama Airin-Benyamin memimpin kota ini. Itu berarti stabilitas politik yang dijaga oleh seluruh pihak dapat dikatakan berhasil. Namun, pertanyaanya, apakah stabilitas politik itu akan bertahan lama? Politik adalah serba ketidakmungkinan. Karena itu, stabilitas politik yang ada selama ini di Tangsel belum sepenuhnya permanen alias rapuh. Sebab, sudah dari “sononya” politik itu berteman abadi dengan kepentingan. Selama ada kepentingan, maka semua pihak bergotong-royong menjaga stabilitas bahkan jika perlu mempertahankan “status quo”.
Namun, ketika kepentingan itu sudah “selesai”, maka selesailah kerjasama itu dilakukan. Watak abadi inilah yang dimiliki politik. Dan memang seperti itulah politik dijalankan selama ini.
Dalam konteks politik yang sifatnya spekulatif juga kini banyak bermunculan prediksi terhadap jalannya pemerintahan Airin-Benyamin di periode kedua ini. Salah satunya adalah kabar “pecah kongsi” pada tahun ketiga Airin-Benyamin jelang Pilkada 2021. Meskipun masih terlalu jauh, namun bangunan politik serta skenario untuk kearah itu harus dicicil saat ini. Untuk mengecek apakah kabar ini benar atau tidak, kita dapat melihatnya dari komposisi kabinet Airin-Benyamin di periode kedua ini, baik yang dipromosikan naik jabatan atau birokrat yang menduduki kursi strategis pemerintahan Tangsel. Manakah yang lebih banyak antara gerbong politik yang dikomandoi Walikota ataukah gerbong sang Wakil yang selama ini sabar menanti “giliran” mendapat kue jabatan strategis di pemerintahan?
Kestabilan politik menjadi bagian penting pembangunan dan pelayanan bagi masyarakat. Apabila kestabilan itu sirna, maka gonjang-ganjing pemerintahan akan terjadi dan akhirnya masyarakatlah yang akan dirugikan. Bisakah Airin-Benyamin kompak menuntaskan amanah mereka hingga tahun 2021 tanpa terganggu suksesi kepemimpinan Tangsel pasca Airin menuntaskan kepemimpinannya? Tentu saja pertanyaan itu berpulang kepada mereka berdua.
Ketiga, kualitas pembangunan dan inovasi program bagi masyarakat. Tantangan selanjutnya yang harus segera dijawab oleh Airin-Benyamin adalah persoalan kualitas dan inovasi. Kualitas dan inovasi merupakan ciri bagi kota berperadaban yang berbasikan pada teknologi dan ilmu pengetahuan dalam setiap pengambilan kebijakan. Sebab, sesuai dengan janji kampanye Airin-Benyamin, Tangsel 2021 akan menjadi “smart city” yang bertumpu pada teknologi dalam hal pelayanan di segala bidang.
Untuk mencapai “mimpi” tersebut tentu saja diperlukan perubahan paradigma yang secara gradual mesti diterapkan Airin-Benyamin khususnya kepada birokrasi yang dipimpinnya.
Paradigma pelayanan yang selama ini masih bersifat “konvensional” perlahan dan pasti “kudu” dirubah menjadi pelayanan berbasikan teknologi. Begitupula dengan program-program kerja di kedinasan strategis, seperti Pendidikan dan Kesehatan misalnya. Berbagai program kerja yang dihasilkan lima tahun mendatang sudah saatnya memiliki implikasi panjang bagi masyarakat Tangsel. Bukan melulu terjebak kepada program rutin dan belanja pegawai yang nilainya “aduhai”.
Ketiga tantangan tersebut tentunya tidak mewakili seluruh persoalan yang ada di Tangsel selama ini. Tulisan ini hanya memotret sebagian kecil tugas Airin-Benyamin di periodenya yang kedua dalam pandangan penulis. Karena itu, merupakan tugas masyarakat untuk terus bersikap kritis terhadap jalannya pemerintahan Tangsel di bawah kepemimpinan Airin-Benyamin lima tahun mendatang. Sebab, tanpa adanya pengawasan dan kritikan oleh masyarakat yang disertai juga dengan solusi, dikhawatirkan akan munculnya tirani yang mengatasnamakan demokrasi karena “matinya nalar kritis” masyarakat. Semoga saja tidak. (*)
Oleh : Rudy Gani
Pegiat Tangsel Institut