DI kawasan Asia Pasifik, keberadaan Trans-Pacific Partnership (TPP) kini menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Trans Pacific Partnership (TPP) yang semula digagas Selandia Baru bersama Chile, Singapura dan Brunei yang akhirnya melibatkan Amerika Serikat, Australia, Peru, Vietnam, Malaysia, terlihat menonjolkan peran Amerika di kawasan Pacific.
TPP adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik, dengan Amerika Serikat (AS) sebagai motor utamanya. Perjanjian ini bersifat komprehensif, yang meliputi liberalisasi di semua sector menyangkut barang, jasa dan investasi, dengan sifat terjadwal dan mengikat secara legal.
Isu-isu lainnya yang biasa disebut isu āWTO Plusā yang dibahas dalam TPP adalah Intelectual Property Rights atau Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kebijakan kompetisi (competition policy), belanja pemerintah (government procurement), dan fasilitasi perdagangan. Artinya, TPP merupakan kesepakatan perdagangan bebas dengan standar yang sangat tinggi, yang berada di atas standar kesepakatan perdagangan bebas di WTO, APEC, dan ASEAN.
Dalam konteks TPP, yang menarik adalah kebijakan investasi ini akan diarahkan pada pembentukan pengadilan arbitrasi negara investor.Ā Di sini, sebuah perusahaan bisa menggugat negara dalam posisi hukum yang setara (equal standing) jika terjadi konflik investasi.
Trans-Pacific Partnership (TPP) juga mempreteli hak istimewa BUMN di setiap negara anggota dan menyetarakannya dengan perusahaan swasta biasa. TPP juga diwajibkan membubarkan perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena dianggap tidak adil dalam sistem persaingan dengan perusahaan swasta.
Yang menonjol dalam TPP ini adalah perdagangan dan investasi bisa berkembang di negara apabila intervensi pemerintah dihilangkan dan dunia usaha diberi kebebasan sepenuhnya untuk menanggapi sinyal ekonomi pasar. Ada ketimpangan pasar bebas yang membuat Indonesia hanya menjadi obyek dalam parthnership. Indonesia akan mengalami kerugian yang besar jika tetap memaksakan diri gabung ke dalam TPP tanpa memperhitungkan kekuatan internal.
Mempreteli hak istimewa BUMN Artinya, dalam konteks Indonesia, BUMN bukan lagi sebagai kepanjangan tangan negara untuk mengelola sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai mana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, tetapi diperlakukan sebagai badan usaha murni sebagaimana perusahaan swasta.
Karena dibandingkan dengan perjanjian dalam bentuk Free Trade Area (AFTA, CAFTA, AEC, dan lainnya) TPP jauh lebih luas dan persyaratannya jauh lebih berat sehingga cenderung menjauhkan Pelaksanaan Ekonomi berbasis konsitusi UUD 1945 dan menyulitkan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Meski demikian, Indonesia harus tetap mencermati dan memperhatikan dinamika dan proses yang terjadi di dalam negeri, tanpa harus tergesa-gesa untuk bergabung dalam TPP, mengingat banyaknya hal yang bersifat internal maupun eksternal yang harus dijadikan bahan pertimbangan.
Seperti ekonomi Indonesia sendiri belum cukup kuat untuk melibatkan diri dalam sebuah perjanjian perdagangan bebas yang sangat komprehensif dan mengikat, dan masih rendahnya daya saing ekonomi nasional secara umum dan banyaknya kelemahan dalam ekonomi domestik yang harus lebih dahulu dibenahi. Yang belum kita lakukan adalah bagaimana menerjemahkan ekonomi pancasila itu dalam realitas kebijakan untuk kemandirian ekonomi. Pemerintah harus mengupayakan penurunan kemiskinan, pengangguran.
Jangan sampai TPP ini pemerintah terkecoh karena peluang ekspor sector tertentu, namun merugikan sector lain, terutama bagaimana mencapai kemandirian dan keberdaulatan ekonomi demi kesejahteraan Rakyat seperti visi besar Jokowi JK dengan Nawa Cita dan Trisakti. TPP tidak lebih dari bentuk kolonialisme gaya baru. (*)
Penulis: Dodi Prasetya Azhari SH, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)