SEJAK Mahkamah Konstitusi memutuskan ketidakberlakuan pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 sebagai Pengganti Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden SBY ketika itu mengenai Pemilihan GUbernur, Bupati dan Walikota, wacana dinasti politik seharusnya gugur demi hukum. Pasalnya, dengan adanya keputusan MK tersebut masing-masing peserta Pilkada yang ada dan bertarung satu sama lain meski menghormati keputusan lembaga tinggi negara tersebut.
Salah satu bukti bahwa masing-masing kandidat menghormati keputusan MK adalah menyudahi isu dinasti politik sebagai bagian dari kampanye yang dituduhkan kepada calon yang dituding menjadi bagian dari sebuah dinasti.
Namun harapan itu nampaknya tidak terjadi di Pilwalkot Tangerang Selatan tahun 2015 ini. Pasalnya, putusan itu (MK) masih dianggap angin lalu bagi para kandidat yang bertarung dan berkompetisi bersama dengan Airin Rachmy Diany-Benyamin Davnie dalam pilkada yang digelar kurang dari sebulan lagi.
Airin yang saat ini menjadi petahana seringkali diopinikan sebagai bagian dari dinasti politik Banten yang berafiliasi kepada kelompok Ratu Atut. Padahal, dilihat dari fakta politik yang kini terjadi, Airin diusung oleh Partai Golkar, yang diketuai olehnya. Selain Golkar, Airin juga didukung Nasdem, PPP, PKS, PAN dan PKB. Sisanya, PDIP dan Hanura mengusung Arsid-Elvier. Sedangkan Partai besutan SBY dan Prabowo mengusung Iksan-Li Claudia sebagai calon kepala daerah menantang Airin-Benyamin.
Memang ada satu argumentasi kuat yang selama ini dituduhkan kepada Airin sebagai bagian Dinasti Atut, bahwa Airin adalah ketua DPD Partai Golkar Kota Tangsel yang ditingkat provinsi Banten, diketuai Ipar dari Airin, Ratu Tatu. Namun, tudingan ini juga dapat dibantah.
Untuk meloloskan calon kepala daerah setidaknya kepala daerah itu harus mendapat “restu” alias persetujuan dari pengurus partai di tingkat pusat. Maka tidak sah apabila calon itu tidak mendapat “restu” dari partai di tingkat pusat dalam hal ini DPP Partai Golkar sebagai pengusung Airin, juga PAN, PKB, PKS, Nasdem dan PPP.
Lalu, mengapa Airin masih kerap dicap kepanjangan tangan kepentingan dinasti jika kita melihat posisi Airin dan peta politik di Banten hari ini?
Peta dan Dinasti Berubah
Pasca kasus yang menimpa Atut dan Wawan, eskalasi politik dan peta politik di Banten dan Tangsel mau tak mau juga ikut berubah. Termasuk kekuasaan dinasti yang bergeser dari Atut ke dinasti selanjutnya. Terdapat beberapa dinasti lain yang juga ada dan tumbuh perlahan-lahan di Banten saat ini.
Lalu mengapa peta politik yang saat ini sedang dihadapi oleh masyarakat Banten dan Tangsel tidak disampaikan pula kepada masyarakat? Mengapa pihak-pihak yang mengklaim dirinya “anti dinasti” tidak bersuara ketika mengetahui bahwa “dinasti baru sedang bertumbuh” di Banten?
Adilkah mengatakan bahwa Airin adalah produk dinasti Atut sedangkan kedua calon yang lainnya juga dapat dipastikan menjadi “bagian” dari sebuah dinasti di Banten yang kini sedang bertumbuh secara perlahan dan “mengancam” iklim demokrasi serta ekonomi di Banten serta Tangsel?
Politik adalah sebuah cara untuk mempertahankan kekuasaan sebagaimana yang dilakukan Airin. Di sisi yang lain, politik adalah sebuah cara guna memperoleh kekuasaan sebagaimana yang dilakukan oleh lawan-lawan Airin.
Nah, pertanyaannya, kekuasaan siapakah yang akan keluar sebagai pemenangnya di Tangsel? Apakah kekuasaan dinasti Atut sebagaimana yang dituduhkan ada di kubu Airin, atau dinasti lawan-lawan Airin yang “menyebar” di dua tim calon kandidat lain.
Singkatnya ketiga pasangan kandidat calon pemimpin di kota yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta ini memiliki jaringan politik yang berujung pada masing-masing dinasti mereka. Dalam konteks ini dinasti yang dimaksud tidak hanya jaringan dalam bentuk politik, tapi juga bisnis dan kepentingan pragmatis lainnya.
Kesimpulan sementara yang dapat disampaikan ialah bahwa tudingan yang selama ini hanya dialamatkan kepada Airin sebagai produk dinasti layak pula disandingkan dengan kedua calon lainnya. Sebab, jejak kedinastiaan politik dan bisnis terekam di seluruh partai dan konsultan yang mendukung kedua pasang (selain Airin) kandidat tersebut sebagai pemain kunci di pilwalkot Tangsel saat ini.
Dari informasi yang ditelusuri, kekalahan Airin dalam Pilwalkot Tangsel menjadi penting bagi mereka. Sebab Airin adalah simbol dinasti pasca Atut. Apabila Airin kalah dalam pilwalkot tahun ini, maka meredup dan terkuburlah dinasti ini.
Meskipun masih ada generasi kedua dari dinasti Atut, seperti anak Ratu Atut yang kini menjabat sebagai Anggota DPR dari Partai Golkar, Andika Hazrumy– bagi mereka, Andika masih belum dihitung oleh lawan-lawan keluarga Atut saat ini. Karena itu, wacana kedinastiaan politik meskipun melalui UU sudah dibatalkan oleh MK melalui amar putusannya, nyatanya tidak berlaku di Pilwalkot Tangsel dan beberapa pilkada serentak di Banten.
Kampanye hitam terkait isu dinasti politik masih terdengar secara gamblang di masyarakat khususnya menjelang penghitungan suara yang tinggal menghitung hari ini. Maka dari itu perlu kiranya memberikan pencerahan politik bagi masyarakat. Pencerahan itu berupa sebuah bantahan atas tudingan yang selama ini hanya dialamatkan kepada Airin sebagai bagian dari dinasti. Karena faktanya kedua pasangan kandidat lainnya pun setelah ditelusuri lebih jauh mempunyai “hubungan” yang kuat dengan dinasti yang menjadi rival Atut dalam hal politik dan bisnis.
Karena itu mari kita sudahi politik “pura-pura” putih dan bersih. Lagi-lagi disinilah urgensi sebuah kebenaran serta kesadaran politik mesti diketuk. Sebab menyudahi kemunafikan menjadi satu kemenangan tersendiri yang akan diperoleh kandidat. Karena tanpa “pensiun” dari kemunafikan seperti yang terjadi seperti sekarang, pemimpin itu dapat dikatakan telah “korup dan berbuat jahat” sejak dalam pikirannya. Maka pemimpin seperti itu tidak pantas dipilih pada 9 Desember nanti. (*)
Penulis: Rudy Gani, Tangsel Institute