
PERMAINAN isu primodial dalam proses Pilkada bukan barang baru lagi. Walaupun terkesan strategi politik klasik, nyatanya mengangkat isu primodial masih menjadi topik yang laku dijual dalam perhelatan Pilkada di beberapa daerah. Isu kesukuan, putra daerah, isu agama, bergaris keturunan raja, alih waris, selalu menjadi tema kampanye untuk meraup suara dari calon pemilih.
Dalam kacamata masyarakat kelas menengah ke bawah, maka pasangan Arsid-Elvier Ariadiannie Soedarto Poetri terlihat lebih diuntungkan dan mempunyai ruang besar untuk mendapatkan jumlah suara. Karena image yang dibangun pasangan calon no 2 ini adalah sebagai keterwakilan putra daerah. Isu ini terus menjadi jargon-jargon unggulan di tiap momentum Pilkada.
Namun yang harus disadari bersama, bahwa sebaiknya isu putra daerah janganlah dijadikan jargon-jargon untuk meraup simpatik dan suara rakyat. Isu putra daerah adalah bentuk pemahaman yang sempit dan bentuk pendangkalan pandangan terhadap keberagaman dan kebhinekaan.
Masyarakat Tangsel harus mulai belajar dari situasi Pilkada DKI dimana Joko Widodo-Ahok mampu memenangkan kompetisi. Terpilihnya Joko Widodo dan Ahok dalam pilkada DKI periode 2012-2017 merupakan sesuatu hal yang bersifat eksploratif karena baru kali ini provinsi DKI Jakarta dipimpin oleh pemimpin yang berasal dari luar daerah. Inilah yang dinamakan dengan pemimpin impor yang sedang hangat dibicarakan. Sebab pemimpin asli daerah sudah hilang citra sayap emasnya di mata masyarakat asli terutama Jakarta. Lalu kemudian langkah-langkah dan kinerja politiknya juga solid karena mampu membangun persatuan dan mengalahkan image putra daerah yang diusung oleh Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli. Karena bukankah faktanya masyarakat Jakarta pun akhirnya menyadari bahwa isu putra daerah bukanlah suatu syarat mutlak menentukan pemimpin daerah. Dan mampu lebih dewasa menerima keberagaman dan keterbukaan.
Pola isu putra daerah memang dulu populer pada saat zaman orde baru, lalu apakah kita masih tetap akan mengonsidikan isu putra daerah, yang sebenarnya kita tahu bahwa isu ini adalah bentuk pendangkalan wacana berpikir dalam frame negara kesatuan.
Karena Undang-undang menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama, baik itu memilih dan dipilih, hak mencalonkan dan dicalonkan. Jadi kenapa kita harus mengkerdilkan kembali bunyi Undang-undang dengan memakai isu putra daerah.
Isu yang sangat rawan untuk diangkat dalam kampanye Pilkada adalah bahwa seorang Kepala Daerah “sebaiknya” putra daerah. Isu seperti ini bisa muncul apabila terdapat sebuah partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan/mengusung calon Kepala daerah yang bukan berasal dari wilayah bersangkutan. Di satu sisi, hal ini jelas tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan tentu saja merupakan hak partai yang bersangkutan. Apalagi jika kandidat yang diusung ini memiliki kapabilitas dan nilai jual tinggi untuk meraih dukungan masyarakat, maka sah-sah saja jika partai politik menjagokannya.
Kebanyakan aktor politik justru menggunakan isu ini sebagai senjata ampuh untuk memenangkan pilkada. Isu primodal tentunya menjadi sangat subur ketika dilemparkan dalam pemilih tradisional yang masih memilih berdasarkan emosional dan loyalitas. Yang pertama, realitas ini merupakan bentuk kejanggalan dalam demokrasi (dari, oleh dan untuk rakyat). Jika demokrasi itu oleh rakyat maka seharusnya penentuan tipikal pemimpin, berdasarkan pertimbangan pribadi rakyat bukannya dimainkan oleh segelintir elit. Rakyat bawah selalu dijadikan obyek isu sementara remote control isu dimainkan para elit pragmatis. Rakyat berada pada posisi pasif yang siap menerima segala gempuran isu, sementara elit politik berpangku tangan melihat reaksinya.
Kedua, isu promodial sangat tidak menyehatkan proses demokrasi di level lokal ketika mengalihkan perhatian masyarakat pemilih dari penilaian sesungguhnya atas seorang calon, baik kecerdasan, kebijakan, jiwa kepemimpinan serta ide-ide briliant yang seharusnya lebih ditonjolkan untuk kemajuan daerahnya. Ketiga, dari sudut integritas bangsa, kampanye dengan mengangkat isu primodial berpotensi bahaya laten terhadap kesatuan dan persatuan bangsa.
Marilah masyarakat Tangerang Selatan juga harus punya pola pikir yang terbuka. Bahwa mari bicara kualitas, integritas, komitmen dan kinerja nyata bukan sekedar jargon-jargon kosong yang jadi bumbu bagi kepentingan pribadi seorang pasangan calon. Jangan mudah tertipu, mari lebih peka terhadap fenomena yang terjadi. (*)
Penulis: Dodi Prasetya Azhari SH, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)