“The world of nation, not the money,” kutipan itu setidaknya menggambarkan, bahwa mengurusi sebuah pemerintahan (daerah), bukan hanya tentang uang semata. Setidaknya sudut pandang ini harus dimiliki setiap kepala daerah. Terpenting adalah bagaimana setiap kepala daerah punya pemikiran yang visioner yang notabene visi itu masyarakat, bukan atas nama pribadi ataupun partainya.
Menyusun sebuah grand design (visi misi) daerah, mesti dibagun berdasar kondisi objektif, bukan atas dasar keinginan (hasrat). Landasan filosofis dalam mengonstruksi grand design, ada sejumlah faktor yang harus dikedepankan. Pertama nilai kesebangsaan dan kearifan lokal.
Kesebangsaan yang dimaksud disini, harus diartikan lebih cair. Dalam artian, tidak boleh ada kebijakan yang mengandung unsur pemaksaan, apalagi sampai mengubah kultur yang beragam menjadi satu kultur. Setiap kepala daerah, harus mempunyai gagasan yang ujungnya nanti berwujud transformasi pembangunan daerahnya.
Kembali ke persoalan grand design. Menjadi titik kritik kepala daerah harus memiliki pendekatan mikro kualitatif, tidak hanya makro kuantitatif. Sehingga tidak ada perbedaan sudut pandang dalam setiap ukuran kinerja pemerintahnya.
Setiap kebijakan yang diputuskan kepala daerah harus membuka ruang keberdayaan masyarakat yang tadinya tidak berdaya menjadi berdaya. Jarang sekali visi misi kepala daerah disosialisasikan kepada masyarakat, agar visi misi itu merasa menjadi milik mereka.
“Jarang sekali kepala daerah yang melakukan ini. Setiap ganti pemimpin ya ganti visi misi.” Grand design perlu sudut pandang. “Jangan selalu memulai kembali dari titik nol.” (*)
Penulis: Airin Rachmi Diany, Calon Walikota Tangerang Selatan.