Palapanews.com- Daerah yang dikenal luas sebagai ‘Kampung Terompet’ di Gang Keluarga, Jalan Raya Ceger, Jurangmangu kini tinggal kenangan. Bahkan dalam empat tahun belakangan tidak lagi produksi terompet.
Menurut salah satu pengrajin terompet, Parmi (42 tahun) mengatakan, dia bersama dengan suaminya juga mengambil peruntungan dari berbisnis terompet.
Namun, semenjak diterpa banyak hal, penjualan terompet tak lagi menjadi pilihan. Salah satu faktornya, kata dia, isu sentimen agama seperti meniup terompet dinilai sebagai tradisi di luar Islam. Di samping itu juga karena tidak mampu bersaing seiring dengan semakin beragamnya jenis terompet di pasaran.
“Tahun kapan itu cuma dapat Rp200 ribu doang, biasanya jutaan, puluhan juta. Ada yang sampai Rp50 juta. Sekarang sudah mati, enggak laku, enggak ada minat,” kata Parmi.
Sementara itu, Ketua RT setempat Abdul Aziz mengungkapkan, warganya telah berjualan dan menyuplai terompet selama puluhan tahun, sehingga muncullah sebutan ‘Kampung Terompet’ atau ‘Gang Terompet’. Di setiap rumah warganya tiap menjelang Tahun Baru, kata dia, penuh dengan aktivitas pembuatan terompet, bahkan proses produksi meluber hingga di teras-teras rumah.
“Dulu mah penjualannya masyaAllah laris bener, yang ngambil itu dari (daerah) mana-mana. Hampir semua warga (jualan terompet), dari depan (gang) ke belakang,” ungkapnya.
Aziz menuturkan, ada sekitar 30 pengrajin terompet yang ada di daerah itu pada saat masa jayanya. Puluhan pengrajin itu memiliki sejumlah karyawan yang diperbantukan untuk menjalankan proses produksi. Omzet mereka tak tanggung-tanggung, yakni hingga ratusan juta rupiah.
Namun, lagi-lagi, itu semua tinggal kenangan. Usaha terompet di wilayahnya telah mati dalam beberapa tahun belakangan. Menurut analisisnya, penjualan terompet tradisional warganya kalah bersaing dengan jenis terompet yang semakin canggih. Di samping itu, permintaan juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
“Perdagangannya pada kalah sama terompet-terompet yang sekarang yang lebih canggih. Penjualan udah turun, permintaan juga berkurang. Sekarang sudah enggak ada yang produksi sama sekali,” ceritanya.
Aziz menyebut, para warganya yang dulunya merupakan pengrajin terompet notabene telah beralih menjadi pedagang makanan dan mainan, terutama mereka yang memang sehari-hari berjualan terompet. Kondisi mereka, kata dia, saat ini diperparah dengan situasi krisis pandemi Covid-19.
“Beralih, pada dagang mainan, ada yang enggak dagang juga, ada yang pulang kampung, kebanyakan dari Jawa,” kata Aziz. Persentase pengrajin yang pulang kampung ada sekitar 30 persen dari total pengrajin yang ada di daerah tersebut.
Aziz mengaku merasa kasihan dengan kondisi warganya saat ini. Hingga kini, dia mengatakan belum ada solusi untuk membangkitkan kembali geliat perekonomian di wilayahnya. Dia berharap bisa meningkatkan kembali kejayaan ‘Kampung Terompet’ seperti sedia kala. (nad)