Palapanews.com- Dokter bedah syaraf pertama di Indonesia yang juga dokter di Siloam Hospitals, Made Agus Mahendra Inggas meraih dua penghargaan dari MURI sekaligus. Made berhasil melakukan operasi Deep Brain Stimulation pada penyakit Tourrette Sindrome dan Operasi Stereotactic Brain Lesioning Thalamotomy pada penyakit Epilepsi.
āDalam menangangi kedua penyakit ini, dilakukan Operasi Stereotactic Brain Lesioning Thalamotomy pada penyakit Epilepsi dan Operasi Deep Brain Stimulation penyakit Tourrette Sindrome yang pertama kali di Indonesia. Karena metode pengobatan standar yang dilakukan, tidak menunjukan hasil signifikan,ā jelas Made pada saat proses penyerahan penghargaan MURI ditengah acara webinar Sharing Experience in High Grade Glioma di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi.
Menurutnya, operasi Stereotactic Brain Lesioning Thalamotomy pada penyakit Epilepsi dilakukan di MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, pada November 2017 lalu. Sebelumnya sudah diusahakan dengan jenis pengobatan yang lain seperti obat-obatan, Operasi Vagus Nerves Stimulator, dan pemasangan implant.
“Namun semuanya tidak berhasil, lalu diputuskan untuk dilakukan tindakan yang lebih canggih lagi dengan Thalamotomy untuk operasi pada Epilepsi ini. Hasilnya jauh lebih baik dibanding dua pengobatan sebelumnya dan kini pasien sudah stabil, sudah tidak pernah kejang jatuh lagi, dan masih tetap dikontrol dengan obat-obatan,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima pada Kamis (10/12/2020).
Untuk penyakit Tourrette Sindrome merupakan penyakit dimana pasien memiliki dua gejala yaitu kadang berteriak kencang, nafas kencang atau berbicara kasar tanpa disadari. Sedangkan, gejala yang kedua, pasien melompat tanpa bisa berhenti apalagi jika sedang dalam tekanan, dimana melompat merupakan gejala terberat dalam Tourrette Sindrome.
Operasi Deep Brain Stimulation penyakit Tourrette Sindrome dilakukan di Siloam Hospitals Karawaci, Tanggerang, pada November 2018. Saat ini pasien sudah melanjutkan aktivitasnya sebagai mahasiswa di Yogyakarta, dengan kondisi stabil dan sudah tidak menunjukkan gejala apapun lagi.
“Tantangan terbesar yang dihadapi dalam menangani kasus penyakit Epilepsi ini adalah bagaimana membuat pasiennya menjadi kooperatif, karena pasiennya masih muda, kejang yang berulang-ulang dan resisten, sehingga kondisinya kurang stabil dan mengakibatkan sulitnya berkomunikasi apalagi jika Epilepsinya sedang kambuh. Namun seiring berjalannya waktu akhirnya pasiennya sudah dapat menyesuaikan diri,” beber Made.
Sementara untuk kasus Tourrette Sindrome pasien sangat kooperatif, tapi kesulitannya justru pada saat tindakan untuk menemukan titik Tourrette Sindrome yang akan distimulasi, karena ada pemasangan chip khusus dibagian dalam otak. Apalagi di Indonesia tindakan ini belum pernah dilakukan, sehingga pihaknya harus sangat berhati-hati.
“Saya berharap kedua operasi yang telah berhasil dilakukan ini menjadi tonggak untuk dunia kedokteran khususnya Bedah Saraf, dimana ini menjadi batu loncatan karena saat ini sudah ada alternatif pengobatan untuk pasien-pasien dengan kasus Epilepsi yang sudah kronis. Hal ini juga berlaku sama untuk pasien dengan Tourrette Sindrome dimana saat ini mungkin banyak masyarakat yang belum tahu alternatif pengobatan untuk penyakit ini, dengan hasil yang nyata,” pungkas Made. (nad)