FENOMENA politik yang bersandarkan pada moralitas menarik untuk disimak. Pasalnya, isu politik yang berangkat dari moralitas umumnya menjadi bahan “jualan” paling laku dan ampuh guna membius masyarakat.
Tak peduli apa prestasi seorang pemimpinnya. Apabila ia (pemimpin) itu sudah cacat secara moral, maka tak ada maaf baginya. Meskipun dalam praktiknya orang yang berteriak itu belum tentu juga “putih dan bersih” sebagaimana yang ia tuduhkan kepada pihak tersebut.
Di beberapa daerah isu moral dijadikan sebuah kampanye yang paling mengemuka akhir-akhir ini. Tak terkecuali di Kota Tangsel. Kota yang baru berumur 7 tahun sudah dihadapkan pada perang wacana antar masing-masing kandidat. Termasuk politik moral yang diusung oleh ketiga calon kandidat Pilwalkot.
Airin salah satu peserta yang saat ini maju kembali merupakan contoh teraktual dimana dirinya menjadi korban kaum moralis atas kasus yang menimpa keluarga besar sang suami.
Di beberapa media, baik lokal dan media nasional, wajah Airin tak lepas dari cengkraman moralitas yang diusung rival politiknya. Targetnya tentu saja bahwa di mata publik, Airin dibingkai sebagai kandidat tuna moral dan tak layak dipilih kembali.
Dilihat dari kajian hukum yang kini sedang diproses oleh KPK, Airin masih berstatus sebagai saksi. Status itu tentu saja bukan sembarang status. Aparat penegak hukum yang dalam hal ini KPK telah mempertimbangkan secara mendalam dan matang soal status Airin. Maka, status itu mestinya dihormati oleh siapapun. Bukan sebaliknya Airin diopinikan sebagai tersangka melalui berbagai cara.
Sayangnya, semua upaya dan usaha itu kandas begitu saja. Sehingga kebenaran kini keluar sebagai juara. Tentu saja hal ini membuat kecewa rival politiknya. Sebab kenyataannya fakta di lapangan tidak seperti yang diharapkan kaum moralis tersebut.
Hukum tak mesti tunduk oleh opini publik. Sebab sangat penting membedakan antara opini di media dengan fakta hukum atas peristiwa yang terjadi pada Airin. Airin sebagai seorang penyandang gelar S-2 di bidang hukum tentu sangat paham betul atas peristiwa hukum yang terjadi padanya. Bahwa seseorang dinyatakan tersangka apabila terdapat bukti permulaan yang diduga dilakukan (Pasal 1, KUHAP). Maka, untuk membuat status seseorang dari saksi menjadi tersangka tentu bukan seenak jidat kaum moralis itu. Sebab, hukum memiliki logika dan asas sendiri. Jika salah berlogika maka penegak hukum itu juga bisa terseret masalah.
Karena itu, semua opini media yang disuarakan kaum moralis yang “dipaksakan” menjadi fakta hukum kepada Airin tentu saja gugur dengan sendirinya. Sebab, di negara ini aparat penegak hukumlah yang memiliki kewenangan menetapkan status seseorang siapapun itu.
Kaum Moralis, Tobatlah
Membersihkan lantai yang kotor harus dengan sapu yang bersih. Bukan sebaliknya, membersihkan lantai dengan sapu yang sudah kotor. Analogi itu tentu saja tepat untuk kita sandingkan dalam konteks Pilwalkot Tangsel tahun ini. Tangsel tidak akan bersih apabila “orang-orang” yang mengaku bersih dan putih sudah “korup” sejak dalam pikirannya. Korup disini berarti menggunakan berbagai cara untuk memenangkan kompetisi melalui langkah yang merugikan alias curang.
Politik moral yang tadinya menjadi keutamaan bagi mereka nyatanya hanya jargon dan obat tidur yang melelapkan calon pemilihnya. Karena komitmen moral yang diusung oleh mereka hanyalah “lip service” untuk membedakan dirinya dengan rival yang bermasalah secara hukum (simpatik belaka).
Bukankah ini munafik??? Lalu pertanyaannya, apakah pemimpin seperti ini pantas menyuarakan moralitas kepada masyarakat Tangsel?? atau warga Tangsel dinilai oleh pasangan ini begitu “bodoh” sehingga bisa “dikibuli” oleh calon Walikota semacam ini?
Politik moral adalah menyatunya omongan dengan perbuatan. Politik moral adalah menyatunya hati dan otak yang bersih dan tulus. Politik moral adalah kesalehan individual dan sosial. Politik moral adalah “bersih” dari trackrecord selama dirinya beraktivitas dimanapun tanpa “cacat moral” sedikitpun.
Karenanya manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Dalam konteks politik moral yang kemudian melahirkan isu-isu moralitas terhadap kandidat tertentu, maka nilai itu menjadi tidak relevan sebab tak ada yang sempurna di dunia ini. Moralitas adalah soal pribadi antara diri manusia dengan Tuhannya. Ketika ruang politik dibaluri dengan moralitas, maka politik menjadi dosa dan pahala.
Implikasinya, ukuran benar dan salah itu menjadi bias karena politik identik dengan aturan dan sistem sedangkan moral identik dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Nilai ini ada yang bersumber dari agama, tata kesusilaan, sopan santun serta adat. Bagaimanakah kita mengukurnya?? Maka dari itu, politik kaum moralis identik dengan idealisme yang terlalu tinggi. Sebab dalam realitas kekiniaan, khususnya realitas politik Tangsel, sosok ideal yang diimpikan oleh kaum moralis nampaknya masih jauh panggang dari api alias butuh waktu panjang untuk menciptakannya. Bukan berarti pemimpin ideal itu tidak ada, malah sebaliknya.
Pemimpin ideal adalah kenyataan sebagaimana janji Tuhan dalam setiap ajaran agama. Meninggalkan pandangan kaum moralis di Tangsel bukan berarti kafir atau durhaka. Justru dengan meninggalkan kaum moralis yang umumnya berada di rumah-rumah ibadah atau karena ketokohannya di masyarakat (tokoh masyarakat) merupakan salah satu “hijrah politik” dari sesuatu yang sifatnya “nir” menjadi nyata dan pasti.
Karena itu mari jadikan pemikiran rasional sebagai panglima untuk memilih Walikota Tangsel 9 Desember nanti. Dan kepada kaum (sok) moralis, tobatlah. Semoga. (*)
Penulis: Rudy Gani
Aktivis Tangsel Institute