Palapanews.com- Memasuki November ini, pertarungan Pilkada Tangsel sudah memasuki babak permainan isu dan lapangan. Di bulan ini menjadi seteru paling panas antar-tim pemenangan. Termasuk permainan isu, baik isu di dunia maya, seperti sosial media dan media online, termasuk permainan isu di tingkatan akar rumput (masyarakat).
Namun jika kita mengacu pada hasil perolehan suara pada pileg 2019 lalu di Tangsel, seharusnya pasangan Muhamad-Saraswati bisa memenangi kontestasi. Disusul pasangan Azizah- Ruhamaben pada urutan kedua dan pasangan Benyamin-Pilar diurutan ketiga. Sangat sesuai sekali dengan nomor urut yang ditetapkan oleh KPU Kota Tangsel. Dimana pasangan Muhamad-Saraswati nomor urut 1, Azizah-Ruhamaben nomor urut 2 dan Benyamin-Pilar di nomor urut 3.
Pasangan Muhamad-Saraswati sendiri di dukung oleh koalisi PDIP, Gerindra, PSI, Hanura, PAN, Nasdem, Perindo, Garuda dan Berkarya, yang jika dihitung berdasarkan hasil perolehan suara pileg, pasangan ini sudah mengantongi suara 411.889 suara.
Sementara untuk pasangan Azizah-Ruhamaben mendapat sokongan koalisi Demokrat, PKS, PKB dan PKPI dengan jumlah perolehan 193.158 suara. Dan yang terakhir adalah pasangan Benyamin-Pilar dengan dukungan parpol Golkar, PPP, PBB dan Gelora dengan perolehan 154.642 suara minus Gelora.
Namun dalam konteks pilkada, perolehan tersebut tidak bisa menjadi patokan. Kenapa demikian? Faktor utama yang sangat mempengaruhi terjadinya perubahan suara tergantung dari apakah mesin partai berjalan maksimal. Sebab biasanya dalam konteks pilkada, justru yang dominan bergerak adalah relawan-relawan.
Jika mesin partai berjalan efektif, maka perolehan suara berdasarkan penghitungan pileg tersebut bisa saja konsisten. Tergantung dari militansi kader-kader partai-partai pengusung dan pendukung. Ancaman kehilangan suara dari kurang maksimalnya mesin partai ini juga bisa bertambah, mengingat pilkada kali ini dilaksanakan di tengah situasi pandemik covid.
Untuk itu rasanya agak sulit jika KPU Kota Tangsel sendiri menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada pilkada kali ini di atas 60 persen. Justru bisa bergerak hanya di angka 50 persenan lebih. Meski kita harus tetap optimis kendati di tengah pandemik, tingkat partisipasi warga tetap meningkat.
Untuk itu, guna menutupi seringnya mesin partai tidak maksimal dalam kegiatan pemenangan, tidak bisa lagi menganggap remeh peran relawan. Sebab, bisa jadi di antara relawan tersebut ada keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat yang masih bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat. Kenapa demikian? Masyarakat Tangsel meski diklaim sudah urban, tapi di beberapa wilayah kita masih akan menemukan masyarakat yang semi urban atau bahkan masih sangat tradisionalis. Meski di kalangan masyarakat urban sendiri masih ada yang menganut sistem ketokohan.
Nah, pada momentum November ini sinkronisasi ataupun Kerjasama yang antara mesin partai dan relawan sudah harus berjalan baik. Kemudian, masing-masing figur kandidat sudah harus menyapa langsung masyarakat Tangsel. Ini sekaligus mendongkrak popularitas dan elektabilitas figure secara personal.
Bagaimana dengan permainan isu? Permainan isu masih sangat penting. Sebab rasanya tidak mungkin bagi pasangan calon untuk menghadiri semua wilayah. Antara isu di dunia maya (sosial media dan media online) tidak bisa sama dengan isu yang akan disebarkan di tingkat akar rumput tadi. Karena kecenderungannya, isu yang tersebar melalui media online masih berpatokan pada “the bad news is good news,” cenderung akan memicu polemik di kalangan pembaca. Untuk menetralisir itulah diperlukan permainan isu yang berbeda di kalangan masyarakat.
Saya ambil contoh kasus dugaan pelecehan yang dialami calon wakil walikota Saraswati. Di awal pada kasus maaf “paha mulus” ini sangat mampu mendongkrak tingkat keterkenalan Saraswati di masyarakat Tangsel. Meski baginya sudah tidak begitu sulit sebenarnya, karena berkaitan dengan nama besar Menhan Prabowo. Namun pada kasus pelecehan kedua, maaf “yang menyinggung puser” di foto kehamilan Saraswati, jika dikapitalisasi oleh tim Saraswati, rasanya sudah tidak efektif. Kenapa, karena calon-calon lain mendukung agar Saraswati memprosesnya secara hukum. Bentuk dukungan dari masing-masing calon lain tersebut sebenarnya secara tersirat, guna menghindari klaim tuduhan dari bangunan persepsi bahwa pelecehan tersebut diduga dilakukan oleh tim lawan.
Namun di sisi lain, bisa jadi isu pelecehan tersebut dimainkan justru dimainkan agar Saraswati terpecah konsentrasinya dan lebih fokus mengurusi kasus dugaan pelecehan tersebut. Lain halnya dengan kasus pertama yang dialami Saraswati yang disebut-sebut dilakukan oleh salah seorang politisi Demokrat. Sudah barang tentu, ini sedikit memberikan dampak terhadap pasangan Azizah-Ruhamaben, lantaran calon yang diusung oleh Demokrat adalah Azizah yang notabene dari kaum perempuan. Lagi-lagi ini terkait isu gender.
Berbeda halnya dengan kasus chating bernuansa agama yang sempat beredar. Dalam konteks ini, sebenarnya itu justru bisa berdampak pada pasangan Ben-Pilar. Apalagi isu agama itu dilontarkan oleh seorang ASN. Saya yakin, bahwa isu agama ini tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap kontestasi pilkada karena masyarakat sudah banyak belajar dari kasus Pilkada Jakarta. Bahwa dalam politik, agama bukan menjadi persoalan utama. Tentang pilkada, bicara siapa yang bisa memimpin dan program apa yang nantinya akan dilakukan. Terbukti, Ketika Pilkada Jakarta menggunakan isu agama, toh kenyataannya belum ada program kerja yang dianggap prestisius atau menyentuh langsung masyarakat Jakarta.
Bagi saya, jika di antara tim Ben-Pilar atau bagian yang menjadi pendukung Ben-Pilar terus menyuarakan sentimen agama, justru akan merugikan pasangan ini sendiri. Sebab, justru akan menyolidkan masyarakat di Tangsel yang non muslim. Sementara pasangan Ben-Pilar ini mengangkat tagline “Tangsel Rumah Kita Bersama” yang menurut saya kontraproduktif Ketika isu sentimen agama dimainkan oleh tim ataupun pendukung pasangan Ben-Pilar.
Situasi inilah yang saya lihat kurang dimanfaatkan oleh tim pemenangan Azizah-Ruhamaben. Karena di tingkatan opini publik, vis a vis Pilkada Tangsel adalah Ben Vs Muhamad. Meski secara hitung-hitungan suara pileg, pasangan Azizah-Ruhamaben ini berada pada posisi kedua, namun bergabungnya Gelora ke pasangan Ben-Pilar patut dipertimbangkan. Ancamannya tak lain perpecahan suara dukungan PKS.
Yang terbaru, sebenarnya menarik pada saat media-media online memberitakan Azizah berbicara mengenai UU Omnibus Law-Cipta Kerja. Isu ini akhirnya dimainkan oleh media dengan mengkonfirmasi respon Partai Demokrat terkait pernyataan Azizah, justru mendapat jawaban yang berbeda dari pandangan Azizah sendiri. Alhasil, isu yang coba dimainkan ini tidak terlalu berpengaruh. Sepertinya Azizah sudah harus mengklasifikasi isu yang ditawarkan oleh timnya, untuk lebih fokus pada lokalan Tangsel alias locusnya di Tangsel saja.
Kendati perolehan suara pileg pasangan Ben-Pilar ini berada di posisi buncit, namun tidak bisa dianggap remeh. Sebab, pasangan ini disokong oleh Airin Rahmi Diany yang notabene 10 tahun menjabat walikota. Sudah barang tentu, dengan waktu yang lumayan lama tersebut, pasangan ini telah memiliki jaringan di masyarakat sudah lebih kuat dan terawat. Belum lagi dukungan logistik yang sudah mumpuni. Namun tetap saja, jika tim Ben-Pilar terjebak dalam euforia dan konflik internal, maka kondisinya akan berbalik. Jika memang tim Ben-Pilar menerapkan manajemen konflik, hal yang harus dicatat adalah tidak semua orang bisa menafsirkan. Dan saya yakin, penetralisiran ini justru akan dilakukan oleh Airin. Airin akan mengecek langsung ke lapangan, karena tidak ingin sekadar menerima laporan AIS (Asal Ibu Senang).
Selainnya dari itu, tim Ben-Pilar sangat mengandalkan sekali permainan opini di media online dengan menyajikan hasil-hasil Lembaga survei.
Namun kembali lagi, kesemuanya itu tergantung nantinya pada kecepatan dan logistik yang tersedia dari masing-masing pasangan calon. Sepertinya Pilkada akan selisih-selisih tipis antara yang menang dan yang kalah. (*)
Oleh: Sonny Majid, Penggiat Tangsel Institute