Kelapa Sawit, Penyumbang Derita untuk Rakyat

Palapanews.com- Kelapa sawit, dengan nama latin elais guinensis Jacq, bak primadona di Indonesia. Pesonanya mampu menyingkirkan eksistensi tumbuhan palawija dan rempah-rempah yang dahulu sempat menjadi primadona tanah air. Tumbuhan penghasil uang ini ramai diperbincangkan karena prestasinya dalam menghasilkan devisa negara yang cukup besar dibandingkan dengan komoditas lain.

Seperti yang dilansir oleh smart-tbk.com, kelapa sawit memiliki peran penting sebagai sumber pangan dunia. Banyak yang saat ini beralih dari minyak hewani menjadi minyak nabati karena minyak nabati dianggap lebih sehat. Itu pula yang membuat kelapa sawit mampu mengalahkan komoditas lainnya.

Berdasarkan grafik di atas yang datanya diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan kelapa sawit terus meningkat. Peningkatan tersebut sudah terjadi sejak tahun 2011, hingga pada tahun 2018 mencapai luas 14.327,1 Hektare.

Luas lahan kelapa sawit yang terus meningkat itu, merepresentasikan tingkat produksi kelapa sawit. Produksi kelapa sawit di Indonesia juga terus meningkat dan pada tahun 2018 menduduki posisi pertama dunia dengan total produksi sebesar 36 ton, lalu disusul oleh Malaysia dan Thailand dengan masing-masing total produksi sebesar 21 ton dan 2,2 ton.

Sejalan dengan jumlah produksinya yang tinggi, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), menyatakan bahwa pada tahun 2018 kelapa sawit mampu menyumbang devisa sebesar USD 20,54 miliar atau setara dengan Rp 267 Triliun. Jumlah yang sangat besar tentunya jika dibandingkan dengan komoditas perkebunan yang lain.

Tetapi sungguh ironis, dibalik prestasinya, kelapa sawit ternyata menjadi benalu di negara ini. Kehadirannya yang sempat diistimewakan, justru saat ini berbalik menjadi disesalkan. Ketika akar-akarnya sudah menancap tajam di dalam tanah dan tingginya mulai menjulang, maka masyarakat sewajarnya harus mulai waspada dan memikirkan dampak apa yang akan ia berikan. Sebuah studi yang dilakukan oleh mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Muhammadiyah Palu (Unismuhpalu) membuktikan bahwa dengan adanya lahan kelapa sawit membuat air di permukiman sekitarnya menjadi tercemar akibat adanya limbah pasca produksi. Kelapa sawit juga menyebabkan kerusakan tanah di dekat area permukiman karena sifatnya yang suka menyerap banyak zat hara di dalam tanah, sehingga unsur mineral yang ada di tanah berkurang.

Hal lain yang membuat kelapa sawit dianggap sebagai komoditas yang menyumbang penderitaan bagi rakyat, misalnya saja pada bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sepanjang kemarau tahun 2019 ini. Kebakaran hutan dan lahan tersebut disinyalir terjadi karena unsur kesengajaan dalam rangka memenuhi kepentingan suatu perusahaan atau institusi. Hal tersebut diperkuat dengan adanya penyegelan beberapa perusahaan kelapa sawit yang terbukti melakukan praktik pembebasan lahan (land clearing), yang kemudian dilanjutkan dengan pembukaan lahan kelapa sawit di tanah bekas terbakar. Beberapa daerah yang terkena dampak kebakaran hutan dan lahan paling parah yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Akibatnya, masyarakat yang harus merasakan sulitnya menghirup udara penuh asap. Terdengar cukup tidak adil jika demi untung yang besar kita rela menukarnya dengan kesehatan paru-paru masyarakat.

Ekspansi lahan kelapa sawit secara masif juga menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor di beberapa daerah. Kelapa sawit tidak mampu menampung air cukup banyak, sehingga keberadaannya justru memicu terjadinya banjir dan tanah longsor. Selain itu, ditukarnya hutan menjadi lahan kelapa sawit mendorong terjadinya emisi gas rumah kaca, karena hutan yang berfungsi sebagai penyeimbang iklim tidak lagi ada. Kehancuran habitat dan berkurangnya keragaman hayati juga menjadi risiko yang harus ditanggung akibat adanya ekspansi masif lahan kelapa sawit.

Tentu saja ini semua menjadi sebuah refleksi dan evaluasi bagi kita, tidak hanya pemerintah, agar mempertimbangkan lagi keberadaan kelapa sawit. Apalagi jika sudah menyangkut tentang dampak secara langsung maupun tidak langsung yang diberikannya untuk rakyat dan juga bumi. Apakah derita rakyat adalah harga yang pantas demi membayar keberadaan lahan kelapa sawit? (*)

Penulis: Hanum Iftitah Rahmah, Mahasiswa Politeknik Statistika STIS

Komentar Anda

comments