Plutokrasi Trump, Mimpi Israel Raya & Misionaris Sekte di Indonesia

Foto: Ramallah-News.

MUNGKIN banyak yang bertanya, apa kaitan “Plutokrasi” dan “Mimpi Israel Raya.” Apakah keduanya berhubungan. Kita coba bersama mencarinya. Berangkat dari Plutokrasi terlebih dulu, beberapa literatur asal katanya dari bahasa Yunani – Plautos-kekayaan dan Kratos- kekuasaan. Dua kata ini secara nyata kerap berjalan beriringan.

Ada orang yang meraih kekuasaan untuk mencari kekayaan, atau sebaliknya orang yang kaya pasti punya hasrat ingin berkuasa yang mungkin lebih tepat dikatakan sebagai kecenderungan. Jika diramu Plutokrasi mungkin bisa disebut sebagai sebuah fenomena, ya fenomena rezim yang dikendalikan oleh orang-orang kaya (konglomerasi). Artinya, sebuah sistem pemerintahan yang berbasis kekuasaan oleh kekayaan segelintir orang.

Plutokrasi ini sepertinya mulai menggerus beberapa sistem/rezim yang pernah mampir seperti terpimpin, demokrasi, ataupun otoriter. Memang belum ada acuan yang melarang orang kaya atau pengusaha menjadi pemimpin sebuah negara. Dalam konteks Amerika Serikat (AS), Presiden Donald Trump tercatat sebagai pengusaha kakap.

Seorang pengusaha identik dengan pemikiran yang realistis, dia akan selalu mengikuti mekanisme pasar, dan bila perlu ikut campur dalam mengatur mekanisme pasar. Cukup jelas kan, bicaranya untung rugi. Dengan kekuasaan, para pengusaha ini bisa mengakumulasi kekayaannya. Kekuasaan dipakai sebagai sarana memfasilitasi pengumpulan kekayaan secara besar-besaran. Plutokrasi sendiri sekaligus memberikan gambaran bahwa penguasa plus pengusaha akan mengambil posisi ganda. Berganda dalam kekuasaan, berganda dalam kekayaan, mungkin demikian.

Pernyataan Trump soal Yerusalem sebagai Ibukota Palestina, menyusul rencana negeri Paman Sam itu memindahkan Kedutaan Besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem tidak lepas dari Plutokrasi ini. Banyak bacaan yang mengurai tentang bagaimana Israel punya mimpi membentuk Israel Raya. Sepertinya permulaan kenampakan rencana tersebut menjadi “harga diri” Benyamin Netanyahu, Pemimpin Israel saat ini.

Bisa jadi konflik-konflik di Timur Tengah, menjadi rangkaian dari skema Israel mewujudkan mimpi “Israel Raya.” Rangkaian konflik di Timur Tengah tidak bisa berdiri sendiri. Kita lihat saja penggulingan pemimpin Libya, Moammar Khadafi, kemudian Irak, Saddam Husein, perang di Suriah, Yaman dan lainnya. Hampir semua penggulingan pemimpin yang tanda kutip tidak bisa diajak berkongsi dengan AS dan Israel selalu menggunakan instrumen isu pemimpin diktator, senjata pemusnah massal, senjata kimia dan lain-lain yang sampai sekarang tidak terbukti, alias hoax.

Libya berhasil, Irak berhasil meski dengan biaya perang yang cukup mahal, sayangnya pasca-Saddam Husein tumbang pemerintahan boneka AS kalah dalam Pemilu, Syiah memimpin. Bingung dengan skenario gagal, dan tidak mungkin meng-agresi Irak, dibentuklah ISIS (Islamic State Irak Syiria). Kita semua diperlihatkan konflik berbasis mazhab di sepanjang daratan Irak sampai Syiria. Setelah ISIS menguasai kantong-kantong minyak, ISIS kemudian dibasmi. Kita semua termakan hoax, bahwa para pelaku kekerasan di Timur Tengah adalah ulah ISIS. Bahkan yang terakhir kasus pembantaian di Mesir, terhadap jamaah yang tengah melakukan salat Jumat. Pertanyaannya adalah? ketika ISIS sudah dibasmi, lantas bagaimana nasib sumber-sumber minyak yang dikuasai ISIS, bisa jadi diambil alih oleh si-empunya. Lumayan kan bisa berjualan minyak di pasar gelap.

Di Yaman, alasannya memerangi al-Houthi, milisi bersenjata yang menguasai Teluk Aden. Teluk Aden merupakan perairan yang dilalui kapal-kapal pengangkut minyak menuju Red Sea-Laut Merah. al-Houthi dijadikan alasan untuk menggempur Yaman. Sudah berapa korban sipil akibat bahaya dari Plutokrasi ini. Tragisnya, dalam penyerangan Yaman ini Arab Saudi ikut andil menurunkan personel militernya.

Kembali dengan Israel Raya, ternyata konsep ini merupakan bagian dari kebijakan luar negeri AS untuk memorak-porandakan kawasan Timur Tengah. Pernyataan Trump soal Yerusalem, bisa dilihat sebagai upaya memicu ketidakstabilan politik negara-negara di jazirah tersebut. Mau tidak mau, jika strategi ini berhasil, upaya negosiasi akan berlaku demi mewujudkan pengaruh Israel melalui lobi AS.

Peneliti Senior dari Global Future Institute, Sudarto Murtaufiq dalam artikelnya menyebutkan, bahwa Israel Raya terdiri dari kawasan sepanjang Lembah Nil sampai ke Efrat, sebagaimana “Tanah yang Dijanjikan” menurut keyakinan Israel. Daerah itu meliputi Palestina, Lebanon Selatan, Sidon, Sungai Litani, Dataran Tinggi Golan Syiria, Dataran Tinggi Hauran dan Deraa, Amman, Yordania hingga Teluk Aqaba. Ditambah lagi, Sungai Nil bagian Barat sampai Sungai Efrat bagian Timur, dimana disana dilalui Palestina, Suriah Barat, Lebanon dan Turki Selatan.

Wajar jika kita melihat suguhan pemberitaan dimana Arab Saudi meminta agar Ibukota Palestina dipindahkan ke Abu Dis, sebagaimana proposal Pangeran Arab Saudi Mohammed bin Salman yang diajukan kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Belum lagi kita pernah disuguhkan terkait bocornya sebuah dokumen rahasia perang yang ditayangkan Chanel 10 Israel. Dokumen tersebut menguraikan tentang rencana Tel Aviv dan Riyadh melakukan penyerbuan ke Lebanon. Dimana Lebanon akan menjadi korban hoax sebagai wakil Iran. Arab Saudi dalam dokumen itu disebut sebagai pihak yang dikoordinasikan.

Ini juga ada kaitannya dengan AS yang menyebut kelompok Hizbullah di Lebanon sebagai teroris. Hizbullah sendiri pernah meng-KO Israel pada perang di Lebanon pada 2000 dan 2006. Dan belum lama ini Hizbullah ikut andil membantu pemerintah Suriah melindungi negara tetangganya dari gempuran ISIS dan imperialis pendukungnya. Sedangkan Iran sendiri lagi-lagi di-hoax-kan oleh AS sebagai pihak yang memberi dukungan politik dan militer untuk mengalahkan koalisi ISIS-imperialis tersebut.

Beda Palestina beda Indonesia
Skema perang di kawasan Timur Tengah sendiri barangkali juga diterapkan di Indonesia. Dirunut dari strateginya, ada sedikit kemiripan. Karena biar bagaimanapun Indonesia adalah negara kaya. Bedanya, jika di Indonesia keduanya digunakan, senjata dan mazhab.

Yang senjata menggunakan milisi-milisi bersenjata yang disebut sebagai “teroris” ataupun “terorisme,” sedangkan yang mazhab melalui organisasi-organisasi yang tugasnya memicu kekisruhan perbedaan pendapat, dengan menghujat para tokoh ulama dan masyarakat, baik dengan pemfitnahan ajaran-ajaran agama, penghancuran budaya-budaya lokal, ekstrimnya lagi, merebut kekuasaan dan mengubah sistem negara. Nah, ini mungkin sambungan-sambungan antara Plutokrasi, Israel Raya, tambah lagi misionaris sekte di Indonesia.

Sonny, Pengajar di Fakultas Ekonomi, Universitas Pamulang, Tangerang Selatan.

Komentar Anda

comments