Rame-rame rebutan kursi cawapres

MESKIPUN masih “agak lama,” bagi kalangan awam, rencana gelaran Pilpres, akan tetapi bagi politisi justru “sudah dekat.” Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi tetap fokus keliling Indonesia, menyapa masyarakat sambil bagi-bagi sepeda. Sekalian mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Dalam strategi pencitraan, itu sangat dibolehkan. Namun tak kalah riuhnya isu cawapres. Lini masa, sosial media, sudah mulai ramai memunculkan figur-figur yang dikoarkan sebagai cawapres. Entah cawapres siapa? Jokowi, atau kandidat presiden lainnya yang sampai sekarang masih tersebut nama Prabowo Subianto, petinggi Partai Gerindra.

Sebelumnya ada Gatot Nurmantyo, Panglima TNI yang mendadak menjadi media darling gegara pernyataan kontroversinya tentang dugaan ada pembelian ribuan pucuk senjata oleh orang atau lembaga yang katanya tanpa sepengetahuan Presiden. Ragam pendapat yang merespon. Mulai dari tanggapan bahwa pernyataan itu wajar, sampai ada yang mengait-ngaitkan dengan politik pencitraan Gatot yang kepincut menjadi cawapres. Entah benar atau tidak. Tak lama kemudian, ia kembali memunculkan tema “Nonton Bareng film G 30 S PKI.” Digelar di segala tempat, mulai dari lapangan, perkampungan warga, sampai mal. Lagi-lagi nonton bareng ini dikait-kaitkan sebagai bentuk konsolidasi suara untuk Gatot, sekalian popularitas dan elektabilitas.

Ujungnya, sejumlah partai politik terpancing. Beberapa pernyataan dilontarkan para politisi. Mereka menyebut Gatot layak masuk bursa cawapres ataupun capres. Kembali lagi, entahlah. Klimaksnya adalah pencekalan Gatot saat ingin berkunjung ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Pertanyaannya kemudian, ada apa ini, negara sekaliber Amerika Serikat menolak kedatangan Gatot yang justru sebenarnya memenuhi undangan. Apakah ini sinyalemen bahwa Gatot tidak masuk radar Amerika Serikat sebagai bursa pemimpin Indonesia. Anehnya lagi, justru pro-kontra itu justru diselesaikan oleh Amerika Serikat yang bertemu dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Ini sekaligus mempertontankan bahwa jam terbang Ryamizard tidak boleh dianggap sepele. Lagi-lagi entahlah…Kendati belakangan Gatot dianggap dekat dengan kelompok-kelompok Islam garis kanan yang ikut-ikutan mengklaim Gatot layak sebagai pemimpin Indonesia masa depan.

Nah yang lagi booming adalah Cak Imin, Muhaimin Iskandar Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Mengambil tagline “Sang Pemimpin.” wacananya lumayan ramai di media sosial. Sudah pasti itu kerja-kerja tim media partai. Jika dilihat dari jargon-jargon yang dipakainya, jelas sekali mesin politik Cak Imin mencoba mengarsir anak-anak muda. Terlihat dari desain, baik itu meme, atau media peraga lainnya agak ngepop. Sesekali Cak Imin bergaya “zaman now,” menggunakan setelan celana model standar atau reguler ditambah balutan kemeja yang rada fungky, plus sepatu casual sesekali sporty. Ia sepertinya ingin mengambil klaim “tokoh muda.” Pertanyaannya kemudian apakah ia mampu mengupgrade dirinya sebagai sosok milik nasional, bukan sebatas Jawa Timur.

Agak keribetan juga buat Cak Imin, ketika muncul Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mewakili klan politik SBY, sang ayah. Ukuran mewakili anak muda bisa direbut oleh sosok AHY. Dengan sokongan politik ayahnya yang terkesan “bermain rapi, sistematis dan senyap,” AHY bisa menjawab kebutuhan pemilih muda. Tapi lagi-lagi entahlah….kita lihat saja siapa yang berhasil mengambil klaim “Yang muda yang memimpin.”
Selain tiga nama tadi, tak ada kalah menarik sosok Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan, kendati jarang sekali mengemuka sebagai figur cawapres, namun gosip-gosip di kalangan aktivis, politisi menyebut dia punya hasrat untuk menjadi capres ataupun cawapres mendatang. Mengikuti jejak gubernur sebelumnya, Jokowi. Meski berangkat bukan sebagai tokoh politik, tapi Anis lumayan punya “asam garam” dalam perhelatan politik. Dia pernah ikut konvensi Partai Demokrat, kemudian sempat jadi Menteri Pendidikan yang diganti. Entah motifnya apa, sosok yang kerap “loncat sana-sini” ini jelas punya bekal politik. Apalagi mantan rektor Paramadina ini disebut-sebut dibekingi Jusuf Kalla, saudagar Bugis yang masih wapresnya Jokowi. Anis juga kabarnya masuk dalam radar negeri Paman Sam sebagai figur yang punya potensi jadi presiden ataupun wapres. Lagi-lagi entahlah……

Di luar nama-nama tadi, tidak bisa dianggap enteng nama lainnya, meski jarang masuk dalam pemberitaan. Sebut saja Khofifah Indah Parawansa. Ketua Umum Muslimat NU yang kini sebagai Menteri Sosial ini, punya pengalaman segudang kepemimpinan nasional. Beberapa kali dia pernah menjabat sebagai menteri di sejumlah kabinet. Kemudian pernah duduk beberapa periode di Senayan sebagai wakil rakyat. Belum ada pemberitaan negatif soal Khofifah, relatif bersih. Khofifah bertengger di posisi kedua klasemen kinerja menteri. Pada posisi puncak ada Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Khofifah ini lagi mencoba kali ketiganya bertarung dalam Pilkada Jawa Timur. Meski sebenarnya sosok Khofifah bisa menyatukan kekuatan beberapa tokoh politik sebut saja Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan yang sampai sekarang merupakan tokoh kunci.

Kemudian ada nama Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan. Meski tidak punya basis melalui jalur partai politik, tetapi jika mengacu pada sudut pandang profesionalitas, nama Presdir PT ASI Pudjiastuti ini patut dipertimbangkan. Dia adalah menteri berkinerja baik berada dalam posisi puncak berdasarkan survei yang dilakukan lembaga independen. Gebrakannya ciamik bahkan kerap dinilai kontroversi. Salah satunya adalah “ledakan di tempat” bagi para nelayan asing yang kedapatan mencuri ikan di laut Indonesia. Bahkan perempuan kelahiran Pangandaran yang berpenampilan apa adanya ini punya mimpi Indonesia menjadi negara pengekspor ikan laut terbesar di Asia. Akibat prestasinya yang melejit ini, Susi akhirnya layak mendapat gelar Honoris Causa sebagai orang yang punya gebrakan dalam sektor perikanan dan kelautan.

Jika Susi menjadi kandidat kuat cawapres dugaan kuat akan riak-riak politik akan ramai. Kenapa? karena Susi diluar mainstream. Mulai dari gaya kepemimpinannya, tingkah lakunya yang tanpa batas jika sedang melakukan kunjungan kerja, belum lagi sosoknya yang perokok dan memiliki tatto di kaki. Sungguh diluar mainstream. Banyak orang khususnya yang berbeda arah politik dengannya, sepertinya belum bisa menerima diluar kebiasaaan di luar mindstream Susi. Gebrakan Susi ini juga sempat mendapat perhatian khusus Badan Intelijen Negara (BIN). Kepala BIN Budi Gunawan pernah melontarkan pernyataan, bahwa ada kartel yang ingin menggulingkan Susi. Susi tetap perlu diperhitungkan, karena modalnya tak lain sebagai menteri berkinerja baik dan selalu menjadi media darling.

Bagaimana dengan Puan Maharani dan Sri Mulyani? Dua sosok perempuan ini juga kerap diucap sebagai kandidat cawapres. Puan memiliki trah Soekarno, ini menjadi modal politik utama, meskipun jarang sekali terlihat sepak terjangnya di ruang publik. Masih kalah moncer dengan Sri Mulyani. Perempuan yang pernah memiliki jabatan strategis di World Bank ini, sudah pasti memberikan gambaran sejauh mana jejaring internasional alumni UI ini. Sayangnya, meski demikian, Sri seringkali disambung-sambungkan dengan mekanisme utang yang selalu menjadi tawaran penyelesaian keuangan negara. Isu utang negara, bisa dipastikan menyeruak seandainya Menteri Keuangan ini dipilih sebagai cawapres. Ada stigma yang mengatakan “Selama ada Sri, pasti ada utang.” Isu ini sangat berisiko dan sensitif bagi capres yang menimang Sri sebagai pasangannya. Lagi-lagi entahlah…..

Jangan juga sepelekan Budi Gunawan (BG), Kepala BIN. Mantan Wakapolri ini bisa melejit di tengah-tengah kerumunan para kandidat cawapres. Dengan segala kekuatan infrastruktur yang dimilikinya, semuanya bisa saja terjadi. Apalagi BG sangat dikenal dekat dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Bahkan katanya salah satu orang kepercayaan Mega. Kemudian Moeldoko, yang waktu lalu ditunjuk sebagai pihak mewakili keluar saat resepsi pernikahan Kahiyang Ayu, putri Jokowi. Bagi orang politik, penunjukkan tersebut bisa dianggap sebagai peta politik. Namanya juga politik, apa saja dianalisa meski sebenarnya agak berlebihan.

Yang tak kalah menarik untuk dijadikan perhatian adalah sosok KH Said Aqil Siroj (SAS), Ketua Umum PBNU. Figurnya layak diperhitungkan masuk bursa cawapres. Ia dua kali memimpin organisasi NU yang dikenal consern dengan tema-tema keberagaman dan toleransi. Kefigurannya mampu mematahkan isu-isu sentimen SARA yang bisa datang lagi dalam perhelatan politik. Sama dengan Susi, dia dikenal kontroversi, tegas dan berani mengambil posisi “diluar kotak.” Sehingga wajar jika dirinya selalu menjadi sorotan media. SAS memiliki curiculum vitae lumayan mumpuni. Lelaki kelahiran Cirebon ini masuk dalam tokoh agama paling berpengaruh di dunia bersama Habib Luthfi bin Yahya. Ini menjadi bukti, kelas ketokohan SAS sudah internasional apalagi menasional. Tapi lagi-lagi entahlah…..semua masih membaca pasar.

Jadi….kita tunggu saja. Siapa cawapres yang kuat….sangat ditentukan dengan tren isu yang berkembang nanti dan siapa kandidat capresnya. Dari figur-figur yang diuraikan di atas tadi, setidaknya ada gambaran, bahwa pada pilpres mendatang kelompok yang bertarung masih sama. Kalangan Islam, nasionalis dan liberalis.(*)

Penulis: Sutan Syarif, Penggiat Lingkar Kaji Isu-isu Strategis.

Komentar Anda

comments