Bela Konstitusi, Pemerintah Jangan Takut Usir Freeport Bila tak Patuh

Dodi Prasetya Azhari SH

REGULASI Pemerintah Indonesia terbaru yang mengatur tentang pertambangan Minerba rasanya merupakan jalan terbaik yang harus dihormati oleh semua pihak, khususnya pelaku usaha pertambangan.

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Ke-4 atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

PP yang merupakan turunan dari UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba ini pada intinya mendorong terciptanya nilai tambah mineral logam melalui pengolahan dan pemurnian, memberikan manfaat optimal bagi negara, serta memberikan kepastian hukum dan berusaha bagi pelaku usaha pertambangan minerba.

Salah satu poin penting yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang perubahan keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara adalah ketentuan mengenai divestasi saham sebagaimana juga amanat UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.

Dalam ketentuan tersebut, terdapat aturan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berkewajiban melakukan divestasi saham sebesar 51% secara bertahap.

Namun, belakangan ini perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT. Freeport Indonesia menyatakan keberatannya untuk melakukan divestasi sahamnya sebesar 51%. Freeport hanya bersedia melakukan divestasi 30% sebagaimana terdapat dalam ketentuan kontrak karya (KK) yang ditandatangani pada tahun 1991.

PT Freeport Indonesia adalah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoran Cooper & Gold Inc. Freeport beroperasi di daerah dataran tinggi Kabupaten Mimika, Papua.

Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi dari tahun 1967, dan tambang Grasberg, sejak tahun 1988, di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Menanggapi hal tersebut saya selaku penulis menilai bahwa PT. Freeport Indonesia sudah seharusnya tunduk terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia. Freeport harus divestasi sahamnya 51% tanpa ada proses tawar menawar lagi. Pemerintah harus tegas dan berani.

Polemik peralihan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (FI) dari Kontrak Kerja (KK) ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sarat dengan muatan politik kepentingan asing terhadap Indonesia.

Freeport harus menghargai kedaulatan bangsa Indonesia sebagai bangsa merdeka, yang mempunyai kewenangan penuh untuk menjalankan konstitusinya. Atas nama KK (kontrak karya) Freeport tidak bisa menginjak-injak kedaulatan bangsa Indonesia.

Menyimak pertarungan PT Freeport melawan pemerintah Indonesia ini memang mengasyikkan. Freeport sejak tahun 1967, menikmati betul fasilitas yang diberikan oleh Presiden kedua Indonesia, Soeharto, dalam bentuk Kontrak Karya. Kontrak Karya ini memungkinkan PT Freeport Indonesia untuk mengatur segala macam operasional mereka termasuk keuangan dan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaannya.

Setelah tumbangnya Soekarno, Soeharto di lantik menjadi Presiden Indonesia yang kedua. Di ketahui bahwa Soeharto meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967.  Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Soekarno sebelumnya.

Sejak Freeport mengajukan perubahan KK menjadi IUPK, serta izin perubahan tersebut disetujui oleh pemerintah dengan menerbitkan IUPK kepada perusahaan tersebut, maka ketentuan perjanjian yang terdapat di dalam KK secara otomatis sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.

Perubahan KK ke IUPK yang diajukan sudah disetujui, pemerintah juga sudah menerbitkan izinnya. Jadi KK tidak bisa lagi jadi acuan. IUPK tersebut memposisikan pemerintah sebagai pemberi izin menjadi lebih kuat dari korporasi sebagai pemegang izin.

Harus di pahami bersama bahwa masalah peralihan perijinan dari KK ke IUPK ini bukanlah suatu bentuk permintaan dari pemerintah Indonesia kepada Freeport, tapi itu adalah suatu bentuk keharusan yang harus Freeport laksanakan kalau masih ingin beroperasi di Indonesia.

Negara harus berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain, berdiri di atas kaki sendiri dan menjadi bangsa berdikari. Rasanya bangga bila pemerintahan hari ini adalah pemerintahan yang tegas dan berani,pemerintahan yang tidak tunduk pada kehendak dan kepentingan asing selama merugikan kedaulatan dan national interest bangsa kita.

Pemerintah Indonesia tidak boleh kalah dan mengalah oleh arogansi Freeport. Seluruh komponen bangsa dan kekuasaan negara harus satu suara, demi kewibawaan bangsa dan kedaulatan perekonomian nasional.

Apalagi bila bicara tentang kedaulatan negara sebenarnya PT Freeport harus sadar dan tunduk, karena konstitusi sudah mengamanatkan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Jika ingin investasi, harus tunduk dan patuh pada peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia, jangan ada ancam mengancam.

Kendali atas kekayaan alam mineral harus ditangan negara jika berkeinginan untuk menyejahterakan masyarakat. Menurut Pasal 33 UUD 1945 sudah dinyatakan secara jelas bahwa negara berkuasa terhadap kendali kekayaan alamnya.

Pada sila kelima Pancasila jelas dituliskan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, jadi kalau Freeport yang nilai labanya sangat tinggi dari hasil eksplorasi di Kabupaten Mimika tetapi kondisi kesejahteraan rakyat di Kabupaten Mimika masih jauh berada di bawah taraf sejahtera, ini namanya penjarahan sumber daya alam Indonesia, bukan eksplorasi dan kerjasama bisnis.

Jelas dikatakan dalam pembukaan UUD ’45, Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Divestasi saham 51% yang diajukan oleh pemerintah sebagai syarat untuk melakukan perubahan KK menjadi IUPK tersebut sudah tepat. Pasalnya, dengan kepemilikan saham sebesar 51%, merupakan bentuk kuasa dan kendali negara atas kekayaan tambang yang dimiliki.

Apabila PT Freeport tidak bersedia melakukan divestasi saham sebesar 51% tersebut, maka pemerintah sudah seharusnya mencabut izin yang telah diberikan.

Dengan hal itu, Freeport tidak akan bisa lagi melakukan ekspor konsentrat. Bahkan, pemerintah juga sudah saatnya untuk memberikan keputusan tegas.

Jika Freeport tidak tunduk terhadap perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Maka, tidak ada lagi perpanjangan kontrak maupun izin 2021 mendatang.

Pengambilalihan pasca 2021 nanti sangat memungkinkan terjadi bahkan tidak ada konsekuensi hukum maupun biaya, lantaran KK Freeport sudah berakhir, sehingga sudah seharusnya diserahkan kembali kepada Pemerintah Indonesia.

Kemudian Pasca 2021 diambil alih pemerintah, pengelolaan tambang Freeport selanjutnya dapat diserahkan pengelolaannya kepada konsorsium BUMN, sehingga akan lebih memberikan kemakmuran rakyat, utamanya Papua dan bukan kemakmuran pemegang saham McMoRan Copper & Gold Inc.

Saya pribadi sangat mendukung sekali dengan langkah-langkah pemerintah terhadap Freeport ini, karena pemerintah secara langsung memperjuangkan hak rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima Pancasila dan Pembukaan UUD ’45. (*)

Penulis: Prasetya Azhari, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKAB)

Komentar Anda

comments