Wasekjen PBNU: NU Harus Kombinasikan 4 Pilar Kekuatan

Wasekjen PBNU, Hery Haryanto Azumi. (ist)
Wasekjen PBNU, Hery Haryanto Azumi. (ist)

Palapanews.com- Pola relasi organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tidak bisa sebatas mengandalkan modernisasi struktur. Memasuki abad ke-2, NU sebagai organisasi harus mampu mengkombinasi empat pilar kekuatan yang dimilikinya, nasab, sanad, struktur dan kultur.

Empat elemen ini, merupakan penataan pola relasi yang baik organisasi NU menghadapi perkembangan zaman yang semakin dinamis dan terbuka. Sebaliknya, justru yang terjadi hari ini adalah rasa memiliki yang semakin kuat, tanpa diiringi rasa tanggungjawab.

“Banyak pihak lebih mudah mengatasnamakan NU sebagai jalan pintas mendapat keuntungan, tanpa memikirkan dampaknya buat organisasi, termasuk warga NU,” kata Hery Haryanto Azumi, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Wasekjen PBNU), Senin (24/10/2016).

Ia menegaskan, hubungan nasab dan sanad, harus teraplikasi dalam bentuk tanggungjawab struktural dan kultural. Hal ini dilakukan agar setiap program kerja yang digagas bisa terukur. Terutama mengukur setiap risiko dari program kerja.

“Implikasinya terhadap masa depan organisasi NU itu juga harus dipetakan,” tegas mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) ini.

Kemudian dimana pentingnya Sanad? Ditanya demikian, Hery-demikian ia akrab disapa menambahkan, adalah menanamkan posisi pengetahuan sebagai pondasi dalam perjalanan peradaban manusia.

Harapannya, ada gambaran tentang peta pengetahuan secara sektoran dan sebarannya. Berarti, lanjut dia, menjadi penting kekuatan sumber daya di tubuh organisasi NU. Sumber daya sosial menjadi basis legitimasi bagi keberadaan NU itu sendiri, baik itu kemarin, hari ini dan masa mendatang.

“Ini perlu dukungan kemampuan sumber daya manusia pada struktur organisasi NU, sebagai pelaksana mandat sosial,” ujarnya lagi.

Modernisasi struktur yang terjadi hari ini, tidak mengikutsertakan nasab dan sanad. Kondisi ini berbahaya dan justru bisa memicu konflik kekuatan struktural dengan kultural, Hery menambahkan.

Seharusnya, struktur NU mampu mengakomodir kepentingan atau kebutuhan warga NU, dengan melakukan social service sebagai upaya membangun komunikasi timbal balik – simbiosis mutualisme antara jam’iyyah dengan jamaah.

“Semua tidak akan berjalan baik, apabila nalar kekuasaan dan mencari keuntungan lebih dominan. Sense of belonging harus seiring dengan sense of responsibility,” tegasnya.

Untuk itu ke depan, lanjut dia, organisasi NU harus mengintegrasikan empat kekuatan tadi, nasab, sanad, struktur dan kultur, yang fungsinya saling menguatkan.

“Cara yang bisa menyatukan kekuatan itu melalui permusyawaratan ulama. Permusyawaratan ulama ini menjadi pengikat.” (rls/one)

Komentar Anda

comments