
PENAFSIRAN (Interpretasi) terhadap teks-teks agama dalam hal ini Islam (Al-Qurâan âHadits), merupakan cara yang sangat penting untuk mengutarakan pendapatnya. Penafsiran yang sejati, menghasilkan makna teks , pengungkapan makna teks harus melalui analisis berbagai tingkatan konteks. Fazlul Rahman beranggapan tidak adanya dialektika antara teks dan realitas yang tumbuh ketika teks itu diterbitkan maka akan menyebabkan teks ditarik kedalam horison sang author. Implikasinya teks akan diperlakukan hanya sebagai teks fasif yang semata-mata digunakan sebagai postulat bagi pembenaran teks itu sendiri diabaikan dan dikorbankan untuk memperoleh interpretasi tertentu. Teks mestinya dipandang sebagai âteks linguistik historisâ yang muncul dalam suasana kultural dan historis tertentu. Namun biasanya wacana agama ini sering sekali melalaikan beberapa konteks ini, salah satu pengabaian ini biasanya terjadi dikarenakan akan ketidak sadarannya terhadap norma-norma pembentukan teks kebahasaan, dan adapula disebabkan oleh suatu pemahaman bahwa teks-teks agama adalah teks yang unik dan berbeda atau hampir berbeda, sama sekali dari teks-teks linguistik lainnya.
Upaya yang membongkar fenomena mengapa konteks diabaikan dalam penafsiran wacana agama merupakan langkah mendasar untuk membangun kesadaran ilmiah terhadap teks-teks agama dan norma-norma pembentukannya itu suatu hal yang pasti.
Persoalan ini penting dan mendesak yang harus kita perhatikan, untuk persoalan ini Nasr Hamid Abu Zaid membagi kepada dua bagian : Pertama membongkar fenomena pengabaian konteks dan, kedua mencari dampak dari fenomena itu pada wilayah pemikiran dan sosial. Dalam studi ini terbagi menjadi tiga bagian untuk menjelaskannya. Bidang Pertama Dari segi persamaan anatara teks-teks agama dan nonagama dilihat dari peraturan pembentukannya, strukturisasi, dan produksi makna. Namun garis kordinasi disni tidak berarti identik, disebabkan teks-teks agama mempunyai identitas tersendiri yang unik, terlebih agama islam; bidang kedua mengidentifikasi aturan yang dipakai oleh wacana agama sehingga permasalahan konteks menjadi terabaikan dalam berbagaiapapun baik itu analisis ataupun penafsiran.
Nasr Hamid Abu Zaid disini mempunyai dua topik sentral dalam wacana agama yang harus diperhatikan untuk membongkar persoalan tersebut. Pertama, penafsiran â scientifikâ atas teks agama, suatu pembahasan yang membukakan begitu diabaikannya konteks budaya. Kedua â Otoritariansmeâ (al-hĂąkimiyyah) begitu diacuhkannya konteks Historis-Konteks asbĂąb al-NuzĂ»l, pengabaianpun terjadi dalam konteks narasi Linguistik dari teks yang menjadi objek penafsirannya.; dan bagian bidang yang ketiga Dampak di bidang pemikiran, sosial dan politik. Ketiga dampak tersebut diakibatkan oleh diabaikannya konteks satu dan tingkatan konteks oleh wacana agama. Wacana agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dan hebat dalam pembentukan struktur kesadaraan hal ini tak dapat di bantah, bukan hanya masyarakat awam, ataupun yang lain. Hal ini yang dianggap berbahaya bagi para intelektual, cendikiawan dan juga tokoh-tokoh yang berpengaruh dibidang pendidikan ataupun pengajran yang tak bisa dianggap remeh sebelah mata.
Oleh karena itu, mendiskusikan masalah perkara-perkara pengabaian konteks ini tanpa mengungkapkan berbagai dampak negatif yang timbul darinya maka tidak akan bisa di diskusikan.
Mau percaya atau tidak, teks itu selalu berdampingan dengan struktur budaya tempat ia terbentuk. Sumber ilahi teks sama sekali tidak meremehkan akan hakikat keberadaannya sebagai teks linguistik dengan segala implikasi kelinguistikannya, dalam pengertian historis dan sosiologis teks dengan ruang dan waktu teks itu sendiri memiliki praeksistensi atas kategori bahasa sehingga teks itu tidak ada keberadaannya didalam kategori bahasa, yaitu firman tuhan dalam absolusitasnya, sehingga kita manusia tidak memiliki kaitan apapun dengannya dan kita tidak mempunyai perangkat epistemologi dan aturan untuk mengkajinya.
Tidaklah demikian adanya, karena dianggap sebaliknya, setiap perkataan kita tentang firman tuhan, dimana firman tuhan itu berada di luar kerangka bahasa tidak dipungkiri itu akan membawa kita , suka atau tidak, pada wilayah takhayul dan mitos.
Hakikat firman tuhan ini jauh jauh sudah dikaji oleh dua kelompok pada masa itu, Pertama oleh kelompok Muâtazilah mereka berpendapat sesungguhnya kalĂąm Tuhan (al-Qurâan) adalah baru dan makhluk.
Sedangkan kelompok yang kedua lawan dari Muâtazilah berpendapat bahwa Firman Tuhan adalah Qadim dan termasuk diantara sifat dan dzatnya tuhan sejajar dengan sifat ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya. Sikap moderat kelompok yang kedua ini tidak jauh dari pandangan takhayul dan mitologis karena mereka berpendapat wujud al-Qurâan yang sudah tertulis dalam bahasa arab di lauh mahfĂ»zh sudah ada sejak zaman azali.
Dari pandangan dua kelompok ini mereka memiliki kelemahan sendiri dalam mendekati pesoalan teks, mereka mendekati persoalan teks ini ditinjau dari perspektif hakikat tuhan saja tidak dengan yang lainnya, maka dari kalangan moderenitas mereka melakukan kesalahan yang fatal diakibatkan mereka tidak beranjak dari topik topik keagamaan yang dilontarkan dalam tradisi. Kesalahan fatal ini akhirnya berubah menjadi sebuah pengkhianatan terhadap kesadaran ketika satu sikap para pendahulu diadopsi begitu saja.
Dalam hal ini abdul Qahir Al-Jurjanji ulama tradisional yang bermadzhabkan Asyâariyyah menemukan fakta dalam mengkaji segi-segi kemukjizatan Al-Qurâan, dan kajiannya semacam pembahasan karakteristik teks al-Qurâan diantara tek-teks yang lain , maka hasil riset yang dilakukan Qahir al-jurjanji ini mempunyai signifikansi yang begitu penting bagi kita semua dalam me-interpretasi teks-teks al-Qurâan.
Dalam risetnya abdul Qahir menemukan kajian atas teks sastra dan pencarian terhadap aturan-aturan yang membentuknya serta mekanisme produksi maknanya merupakan teks-teks keagamaan. Mereka ( orang-orang yang tak setuju) akan nilai sastra dan ilmu kebahasaan yang merupakan alat untuk mengkajinya telah menutup peluang bagi kita yang ingin memahami dan mengkaji al-Qurâan, itulah pandangan abdul qahir dalam memperlakukan al-Qurâan sebagai teks linguistik yang kehadirannya tidak berbeda dengan teks-teks lainnya terkecuali sejauh mana aturan-aturan umum pembentukan teks dimanfaatkan.
Maka orang yang menghambat atau katakanlah orang yang tidak setuju akan pengkajian sastra dan kebahasaan dan norma-norma, mekanisme dalam menghasilkan teks sebenarnya telah menghambat dirinya sendiri dan juga kita dari kemungkinan menemukan karakteristik yang membedakan al-Qurâan dari teks-teks lain. Benar menurut Fazlul Rahman yang mungkin ia sejalan dengan muhammad Qahir ia beranggapan dalam bukunya Hermeunetika al-Qurâan, Bahwa al-qurâan itu ibarat puncak es yang terapung. Yang terlihat hanya sepuluh persen sedangkan sembilan puluh persen sisanya terendam dibawah permukaan air. Sembilan puluh persen inilah yang harus digali oleh keterbatasan metodologis dan reifikasi sejarah.
Reifikasi itu harus segera dipecahkan, dan metodologi baru pun mesti secepatnya diproduksi, agar metodologi yang baru dapat menyingkap selubunng yang menutupi gunung es itu. Sebuah metodologi yang tentu saja harus dapat menembus endapan sejarah yang telah terdistori sampai kedasar-dasarnya. Hal ini juga yang menjadikan para pemikir kontemporer melihat bahwa keterbatasan-keterbatasan dalam Me-interpretasi al-Qurâan ini dibiarkan terus menerus, selamanya umat islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang dibentangkan dibalik teks-teks al-Qurâan.
Mengingat disini kita dihadapkan dengan persoalan konteks, baik itu dalam konteks pembentukan teks maupun menghasilkan maknanya yaitu pada level-level â penurunan dan penafsiranâ at-tanzĂźl wa at-taâwĂźl. Menurut abdul qahir dalam bukunya Nasr Hamid Abu Zaid yang berjudulkan âteks otoritas kebenaranâ ia beranggapan itu akan memperhatikan beberapa level konteks yang terpenting saja, tetapi menunjukan keragaman yang sehingga sekarang agaknya belum tuntas dirumuskan dalam studi teks. Teks itu sangat beragam jika dilihat dari teks-teks budaya, namun pada bidang bahasa alamiah, teks hanya beragam dibahasa alamiahnya saja. Maka dari itu Nasr hamid Abu Zaid cukup menyebutkan tingkatan-tingkatan konteks eksternal (interpersonal), konteks internal relasi antar unsur, konteks linguistik(komposisi kalimat), dan terakhir konteks pembacaan atau konteks penafsiran.
Dengan semua permasalahan ini yang udah diutarakan diatas, permasalahn teks dan kontekspun akan bisa di pecahkan dan dirumuskan oleh kita semua, asalkan kita semua mau mengkaji permasalahan itu. Supaya kita bisa memahami maksud dari interpretasi teks-teks agama. (*)
Oleh: Kholik Ramdan Mahesa
Mahasiswa Tafsir Hadis UIN Jakarta Sekaligus Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Dan Alumni Malnu Menes