Formalitas Kemerdekaan Rakyat Indonesia

ZAMRUD Khatulistiwa, sebuah julukan untuk suatu wilayah bernama Indonesia. Sebuah tempat di Asia Tenggara dimana membentang hamparan alam hijau nan permai, birunya laut yang luas, dengan berbagai jenis hayati, yang akan membuat siapa saja terkesima. Tanah yang subur dengan berbagai sumber daya alam utama yang dari manfaatnya hampir semua bangsa di dunia ini membutuhkan.

Hal itu pula yang mengilhami beberapa negara ingin menguasainya dengan cara menjajah. Portugis, Belanda serta Jepang adalah sederet nama yang sempat mencicipi lezatnya rempah-rempah dari negeri kepulauan ini, meski masing-masing akhirnya gagal dan tumbang di tengah jalan. Semua itu tidak lepas dari kegigihan rakyat pribumi, yang dengan semangat kebersamaan kala itu berjuang tanpa mengenal lelah.

Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia sah menjadi negara yang merdeka dan menolak akan penjajahan bangsa asing. Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, akan tetapi sudahkah rakyat Indonesia merasakan kemerdekaan pada saat ini?. Nyatanya rakyat Indonesia masih saja harus berjuang memerdekakan diri dari kemiskinan yang semakin hari semakin menjerat mereka. Apakah ini yang di katakan sudah MERDEKA??

Dalam hasil riset data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwasannya pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen), bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 yang sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen).

Berbanding terbalik dengan para pejabat di luaran sana yang hidup dalam penuh kecukupan dan kemewahan, seperti rumah mewah, mobil mewah dan kekayaan lainnya, tanpa peduli kehidupan rakyat dan saudara-saudaranya yang serba kekurangan. Yang lebih terpenting dari sebuah kemerdekaan adalah negara harus dapat memberikan suatu kemerdekaan yang absolut dan hakiki bagi seluruh rakyatnya, sesuai dengan makna tujuan kemerdekaan yang sesungguhnya.

Dan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 45), tertulis dengan jelas pada paragraf satu dan dua “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Setelah 70 tahun berlalu pasca proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia, perjalanan usaha untuk merajut dan membangun asa demi mempunyai negara yang ideal nampaknya belum sepenuhnya terwujud. Di usia ke-70 tahun Negara Replublik Indonesia saat ini, selayaknya masih dapat kita renungkan dan sadari bahwa, rasa telah merdeka ini belum secara nyata dapat memerdekakan seluruh elemen bangsa (rakyat) dari belenggu keterpurukan dan keprihatinan yang saat ini sedang terjadi.

Keterpurukan dari penyelenggara negara yang buruk (poor governance) atau lebih populer dengan sebutan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), hingga keprihatinan soal kesejahteraan yang jauh dari harapan akibat dari krisis multidimensi ekonomi dan pendidikan.

Roh Ideologi Bangsa Telah Hilang

Nilai-nilai ideologi kebangsaan telah kehilangan ruhnya sejalan dengan “lenyapnya” Pancasila dalam kehidupan keseharian setiap anak bangsa. Karena itu, bangsa ini seperti kehilangan arah dan tujuan dalam berbangsa dan bernegara.

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya Pancasila sebagai ideologi dasar negara Indonesia, dan menjadi landasan keputusan bangsa Indonesia yang mencerminkan kepribadian bangsa dan sebagai dasar dalam mengatur pemerintahan negara. Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari kata panca yang berarti lima dan sila yang berarti dasar.

Pancasila yang terkandung dalam ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memiliki arti luas dalam kehidupan bernegara, arti yang terkandung dalam Pancasila perlu direnungi dan diamalkan oleh para pemimpin bangsa, baik yang duduk dipemerintahan pusat maupun daerah.

Seiring berjalannya waktu sampai apa yang terjadi dan kita rasakan pada bangsa kita saat ini. Ruh Pancasila yang tertanam pada benih nilai yang bermuara pada Pancasila, seolah hilang dan terlupakan, ini benar terjadi dari gejolak yang terjadi pada bangsa kita saat ini. Bagaimana tidak jika kita telusuri dari gejolak permasalahan yang terjadi secara umum sungguh menjatuhkan bangsa kita dimata dunia saat ini.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk sebuah peradaban, yang betujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mencetak kader umat yang bermoral, cerdas, berkarakter, berkepribadian dan bermental. Tujuan dan harapan dari pendidikan ini malah jauh melenceng dari koridor yang ada, seperti yang kita ketahui maraknya pecandu narkoba dan obat-obatan justru dialami dan didominasi oleh para murid dari tingkat menengah keatas, tauran antar pelajar dan masyarakatpun justru semakin bertambah dan menjadi budaya yang tak bisa dihilangkan, ini menandakan bahwa nilai yang tertera pada Pancasila yang menjadi dasar negara seolah tidak memiliki peran dalam membentuk generasi bangsa.

Para pemimpin yang kita harapkan bisa menjadi contoh dan menjadi panutan malah melakukan hal yang tidak diinginkan publik, seperti korupsi yang datang silih berganti tanpa ada kepastian hukum dan belum menemukan titik terang, saat ini bangsa kita jauh dari nilai yang tertera dalam Pancasila, dampak yang terjadi saat ini adalah tidak ada kesejahtraan pada bangsa kita, dampak ini justru dialami oleh masyarakat, tingkat kemiskinan semakin bertambah, persatuan bangsa kita semakin rapuh, tigkat kriminal justru semakin menjadi-jadi.

Ini semua terjadi karena hilangnya ruh yang ada pada nila-nilai Pancasila. langkah yang diambil saat ini adalah menjadikan Pancasila sebagai dasar yang menjadi alat pemersatu bangsa, bukan hanya teori yang dihapalkan tapi selayaknya kita sebagai warga yang menjadi cermin bangsa mengamalkan nilai Pancasila.

Pemerintah dan pemimpin bangsa juga harus membangkitkan ruh Pancasila yang hilang. Dengan menanamkan nilai tersebut dalam kepemerintahannya, jika nilai Pancasila dilakukan dengan hati nurani yang bisa mengontrol prasaan dan emosi tidak menutup kemungkinan bangsa kita akan bangkit dari keterpurukannya.

Dengan langkah ini ketegasan pemimpin bangsa sangat dibutuhkan demi tercapainya ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Penulis: Eka Agus Setiawan, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta – Kader Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta sekaligus penggiat kajian di Koalisi Mahasiswa UIN (KMU) Jakarta.

Komentar Anda

comments