Kala Kemajuan Mulai Membunuh

Dedy Ibmar.
Dedy Ibmar.

PADA awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, manusia menemukan dirinya berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, ekonomi, teknologi dan politik.

Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual. Tentunya ini krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah manusia. Untuk pertama kalinya, manusia dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata.

Awal tahun ini, dunia dihebohkan dengan nuklir, mulai dari tes nuklir Korea Utara, hingga yang paling baru mengenai perjanjian nuklir Iran.

Tak hanya itu, Fenomena terorisme belakangan oleh banyak kalangan pun disebut sebagai penyebab krisis dari aspek teknologi penghancur seperti senjata, bom dan nuklir. Namun, terorisme tersebut hanyalah secuil bukti dari ancaman teknologi penghancur yang dapat meluluh lantahkan dunia dalam sekejap. Negara-negara besar bahkan seluruh negara didunia ini sebenarnya jauh lebih memiliki potensi pemusnahan yang lebih besar dibanding ISIS atau terorisme lainnya. Setiap negara didunia ini telah menimbun puluhan ribu senjata nuklir.

Ancaman perang nuklir antar negara merupakan krisis terbesar yang dihadapi manusia saat ini. Setiap negara telah meningkatkan kekuatan militer dan dunia industri pun tengah sibuk membangun pembangkit-pembangkit tenaga nuklir. Anehnya hal ini justru dipuji sebagai sesuatu yang maju dan berperadaban. Buktinya, negara-negara besar dengan bangganya acapkali melakukan perlombaan-perlombaan senjata pemusnah tersebut.

Pada tahun 1978 saja, militer dunia itu telah mengeluarkan dana yang terbilang fantastis. Lebih dari satu miliar dolar setiap harinya dirogohkan demi membangun suatu teknologi bernama senjata. Parahnya lagi, Lebih dari seratus negara dunia (sebagian besar ASIA) rela mengeluarkan dana yang lebih besar untuk bisnis senjata dibanding dengan pendapatan nasionalnya dalam setahun.

Sementara itu, lebih dari lima belas juta orang yang sebagian besarnya anak-anak dunia meninggal karna kelaparan setiap tahunnya dan lima ratus juta diantaranya meninggal karna kekurangan gizi. Tak hanya itu, hampir empat puluh persen dari penduduk dunia bahkan tidak mempunyai peluang untuk mendapatkan peluang kesehatan yang baik.

Namun, dibalik nestapa itu negara-negara berkembang justru mengeluarkan biaya tiga kali lipat lebih besar untuk persenjataan nuklir dari pada untuk kesehatan. Tiga puluh lima persen dari seluruh umat manusia kekurangan air minum yang bersih sementara separuh dari keseluruhan ilmuwan yang ada terlibat dalam teknologi pembuatan persenjataan. Miris sekaligus berbahaya.

Memang disatu sisi sejarah mencatat bahwa dahulu tokoh-tokoh dunia berhasil menjadikan nuklir sebagai alat perdamaian untuk menghentikan perang dan mengajukan atom sebagai sumber energi yang murah, bersih dan terpercaya bagi masa depan. Namun kini kita menyadari bahwa kekuatan nuklir itu tidak aman, tidak bersih dan tidak pula murah.

Seorang ilmuan bernama Fritjof Capra mengatakan bahwa saat ini, lebih dari tiga ratus enam puluh reaktor nuklir telah beroperasi secara luas disekeliling manusia. Elemen-elemen radioaktif yang dilepaskan oleh reaktor nuklir sama dengan elemen yang membentuk suatu ledakan bom. Bahan-bahan beracun ini telah dilepaskan ke lingkungan oleh letusan-letusan nuklir dan tumpahan-tumpahan reaktor.

Bahan-bahan beracun itu terus menumpuk dalam udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan makanan yang masuk keperut kita. Maka kesimpulannya, nuklir merupakan ancaman nyata ekosistem manusia. Baik diledakan secara langsung maupun hanya digunakan sebagai sumber energi.

Dengan demikian manusia dimuka bumi khususnya masyarakat Indonesia harus dapat melihat ancaman yang sudah menyebarluas ini. Tidak ada hal positif dari senjata pemusnah. Akan jauh lebih baik apabila sekiranya negara-negara berfokus pada kesehatan, kemiskinan dan hal-hal lain yang dapat menjaga kelangsungan hidup manusia. Setidaknya, semoga fenomena ISIS dengan persenjataannya dapat dijadikan bahan penyadaran dan intropeksi bagi negara-negara khususnya Indonesia mengenai bahaya penggunaan senjata pemusnah. (*)

Penulis: Dedy Ibmar, Penggiat Kajian PIUSH serta Mahasiswa Filsafat UIN jakarta

Komentar Anda

comments