Kerukunan Umat Beragama

Eka Agus Setiawan
Eka Agus Setiawan

DALAM negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di daerah kita terdapat beberapa jenis agama yang berbeda. Dari satu sisi, perbedaan-perbedaan yang ada, dilihat dan dinilai sebagai kekayaan bangsa dimana para penganut agama yang berbeda bisa saling menghargai atau menghormati, saling belajar, saling menimbah serta memperkaya dan memperkuat nilai-nilai keagamaan dan keimanan masing-masing.

Perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tetapi dilihat dan dijadikan sebagai pembanding, pendorong, bahkan penguat dan pemurni apa yang dimiliki. Kaum beriman dan penganut agama yang berbeda-beda semestinya bisa hidup bersama dengan rukun dan damai selalu, bisa bersatu, saling menghargai, saling membantu dan saling mengasihi.

Namun dalam sejarah kehidupan umat beragama, sering terjadi bahwa perbedaan keagamaan dan keimanan dijadikan sebagai pemicu atau alasan pertentangan dan perpecahan, menurut pemahaman teoritis, banyak pihak agama bukan dan tidak boleh dipandang serta dijadikan sebagai pemicu konflik dan perpecahan, melainkan harus dipandang serta dijadikan sebagai penunjang perdamaian dan persatuan.

Namun kenyataannya dalam prilaku atau tindakan orang-orang tertentu, entah dengan sengaja atau tidak, agama dipakai sebagai pemicu konflik dan perpecahan, bahkan ada orang-orang tertentu yang menganggap dan menjadikan agama sebagai dasar atau alasan untuk tidak boleh hidup bersama atau harus hidup terpisah, tidak boleh berdamai atau rukun dengan orang yang berbeda agama. Bahkan ada anjuran untuk memusuhi dan membinasakan orang-orang yang tak sejalur dalam pemikiran dan kepercayaanya.

Susilo Bambang Yudhoyono (Sby) mantan presiden RI pernah berkata “perbedaan paham keagamaan tidak boleh mencederai kerukunan serta memaksakan paham yang diyakininya kepada pihak lain apalagi dengan kekerasan”.

Keanekaragaman agama di Indonesia pula memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya.

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.

Menurut pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya agama, serta berhak kembali.”

Pasala 28E ayat (1) tersebut, mengulas kembali tingkat kesadaran umat beragama, akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.

Toleransi Umat Beragama

Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, dan kehidupan sebagai makhluk sosial, manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan antar individu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Untuk menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan / agama.

Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.

Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya” Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama.

Kedengkian dan kekerasan dalam beragama di Indonesia ini harus segera di akhiri, dan itu sudah seharusnya menjadi agenda bersama kaum beriman. Tidak ada lagi kaum yang merasa tertekan karena beragama dan beriman kepada Tuhan. Jika hal ini masih terjadi, sebenarnya amanat Undang-undang Dasar 1945, seperti dalam pasal 28 ayat satu dan dua, serta pasal 29 ayat dua secara tidak langsung dikhianati oleh anak-anak bangsa. (*)

Penulis: Eka Agus Setiawan, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Anggota Hubungan Antar Lembaga dan Umat Beragama (HAL-UB) di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Perbandingan Agama sekaligus kader di Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta

Komentar Anda

comments