Kepala Daerah dan Kualitas Demokrasi

Deni Iskandar
Deni Iskandar

SETELAH sukses melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang di gelar pada 9 Desember 2015 kemarin, kali ini rakyat Indonesia akan kembali dihadapkan pada persoalan yang sama, yakni Pemilihan Gubernur yang akan di selenggarakan pada 2017 mendatang.

Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akan di gelar pada 2017 mendatang disambut baik oleh semua elemen masyarakat di Indonesia, dalam perjalanannya, meskipun pemilihan gubernur masih terhitung lama, namun persiapan serta konsolidasi, dan silaturahmi yang dilakukan oleh partai politik  sudah gencar dan masif dilakukan, seperti yang dilakukan di dua daerah yakni DKI Jakarta dan Banten yang gencar dan masif  di beritakan oleh media, baik media cetak maupun media Online, selain gencarnya media, menjelang Pemilihan Gubernur ini sejumlah spanduk juga bertebaran di pinggir Jalan baik di pusat perkotaan maupun perkampungan.

Kali ini wacana Pilkada Serentak kloter kedua yang akan di gelar pada 2017 mendatang, cukup meramaikan media-media, selain itu menjelang pemilihan gubernur ini, banyak nama-nama bakal calon kepala daerah yang bermunculan dan akan maju pada 2017 mendatang.

Dari mulai nama  calon yang berwajah lama maupun berwajah baru, kendati pun demikian, yang harus di garis bawahi bukanlah ramainya wacana Pilgub dan banyaknya nama-nama bakal calon yang muncul ke permukaan, akan tetapi yang terpenting yang harus di garis bawahi oleh masyarakat adalah sejauh mana nama-nama bakal calon ini memiliki visi dan misi untuk membangun dan memajukan Daerah menjadi lebih baik, selain itu yang penting juga untuk di garis bawahi adalah sejauh mana nama-nama calon yang muncul ini memberikan kontribusi kepada daerahnya, baik nam calon yang muncul di daerah DKI Jakarta maupun di Daerah Banten.

Jangan sampai dalam momentum Pemilihan Gubernur 2017 mendatang ini rakyat kembali memilih calon kepala daerah yang tidak memiliki kualitas kepemimpinan yang baik, dan hanya menjadi boneka partai politik semata, dalam hal ini masyarakat juga harus jeli dan selektif dalam memilih calon kepala daerah pada 2017 mendatang, jangan sampai memilih pemimpin yang tidak jelas asal usulnya, ibarat membeli kucing dalam karung.

Apatisme Masyarakat

Disadari atau tidak saat ini, tingkat partisipasi serta semangat masyarakat dalam memilih, mengalami penurunan, masyarakat merasa jenuh dengan sikap dan janji-janji pemerintah, baik pemerintah di tingkat eksekutif maupun legislatif, akibat dari kejenuhan tersebut masyarakat berbondong-bondong tidak menyalurkan pilihannya, seperti yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah Serentak yang di gelar pada 9 Desember 2015 kemarin, yang menghasilan out put  Golongan Putih atau masyarakat yang tidak menyalurkan pilihannya semakin tinggi.

Seperti yang terjadi di daerah Banten pada Pilkada Serentak 2015 kemarin maupun di DKI Jakarta pada Pemilihan Gubernur 2012 lalu, berdasarkan data yang telah di rilis tingkat partisipasi masyarakat di Banten pada Pilkada serentak mengalami penurunan, sebanyak 1,4 Juta orang di Banten tidak menyalurkan suaranya ke TPS atau Golput, dari tiga daerah dan satu kota di Banten yang mengikuti Pilkada serentak kemarin angka Golput berkisaran pada 50-60 persen, di daerah Kabupaten Pandeglang misalnya, Angka golput mencapai 414.088 jiwa dari 960.664 pemilih, di Kabupaten Serang angka golput mencapai 547.300 orang dengan jumlah pemilih 1.112.305 orang, partisipasi pemilih terendah mencapai 50,80 persen dengan angka golput mencapai 547.300 orang, begitu pun di Tangerang Selatan, angka golput mencapai 386.714 jiwa dari total 920.471 pemilih, sementara di Kota Cilegon justru berbanding terbalik, tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih pada Pilkada Serentak 2015 kemarin justru cukup tinggi, mencapai 63,19 persen dari jumlah pemilih. (Liputan6. 14/12/2015)

Senada dengan itu, di Daerah Khusus Ibukota Jakarta tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada 2012 lalu juga mengalami hal yang sama yakni penurunan angka pemilih yang tidak menyalurkan suaranya ke TPS, tentu saja pembacaan ini dapat di lihat dari data yang telah dirilis, angka golput pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 lalu, mencapai 2,6 persen, dari jumlah DPT 6.962.348 orang, dalam hal ini, secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta menyebutkan jumlah masyarakat yang memyalurkan suaranya ke TPS pada Pilkada DKI sebanyak 62,95 persen, yang terdiri dari suara sah sebanyak 61,14 persen dan suara rusak sebanyak 1,81 persen, dari jumlah pemilih ini maka dapat di simpulkan bahwa angka Golput pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, memgalami peningkatan sebesar 2,6 persen. (Suara Pembaharu. 20/09/2012)

Dari jumlah angka Golput yang terjadi di DKI Jakarta dan Banten ini dapat sedikit penulis simpulkan bahwa masyarakat dalam hal ini memiliki rasa skeptis, terhadap calon-calon yang maju di Pilkada, baik Pilkada Serentak yang di selenggarakan pada tahun 2015 di banten maupun Pilkada yang di selenggarakan di Jakarta pada tahun 2012.

Kenyataan politik dalam hal ini tentunya harus menjadi catatan penting bagi pemerintah kedepannya, karena bagaimana pun ketika tingkat Golput di setiap Pilkada mengalami kenaikan, maka praktek demokrasi di Indonesia mengalami kegagalan secara subtansial, sejauh ini Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang berhasil  menerapkan sistem demokrasi yang subtansial, tetapi keberhasilan Indonesia dalam menerapkan sistem demokrasi hanya secara prosedural saja.

Ini tentunya adalah suatu persoalan yang harus di benahi dan di perbaiki oleh pemerintah Jokowi, dan yang paling bertanggung jawab untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena bagaimana pun dua elemen ini memiliki peran dan fungsi yang pas untuk memperbaiki dan membenahi persoalan tersebut.

Perlunya Pendidikan Politik

Baik Menteri Dalam Negeri (Mendagri) maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini penting untuk memberikan pendidikan politik secara masif kepada masyarakat di Indonesia, jangan sampai pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan di gelar pada 2017 kloter kedua ini menghasilkan angka golput yang lebih besar di banding Pilkada sebelumnya, kenapa pendidikan politik itu penting untuk di lakukan ? Bagaimana cara memberikan pendidikan politik yang efektif kepada masyarakat ? Dua pertanyaan ini kiranya penting untuk di jawab, demi terwujudnya demokrasi yang berkualitas.

Dalam hal ini, Kualitas demokrasi akan bisa dikatakan baik ketika angaka Golput pada setiap Pilkada mengalami penurunan, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih mengalami peningkatan secara signifikan.

Hal ini tentunya akan terwujud ketika masyarakat paham dan mengerti bahwa menentukan pilihan politik itu penting, ini tentunya bukanlah hal yang mudah akan tetapi hal ini penting untuk dilakukan. Menjelang Pemilihan Gubernur yang akan di gelar pada 2017 mendatang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) penting dan harus melakukan sosialisasi secara masif dan memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa menyalurkan hak suara itu penting dan kewajibam yang telah di amanatkan oleh Undang-undang.

Selain Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Peran Masyarakat di semua elemen juga penting, karena bagaimana pun salah satu upaya untuk mewujudkan semangat Demokrasi yang berkualitas di perlukan  dukungan dari semua elemen masyarakat agar angka Golput pada setiap di selenggarakannya Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif, maupun Pemilihan Presiden tidak menghasilkan angka Golput.

Tentunya cita-cita berdemokrasi secara subtansial ini akan terwujud ketika pemerintah mendapatkan dukungan dari semua elemen masyarakat, seperti masyarakat yang terhimpun  dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kepemudaan (OKP) maupun Organisasi Masyarakat (Ormas), peran pemerintah dalam hal ini harus di dukung oleh semua elemen masyarakat.

Mencari Sosok

Selain itu upaya yang lain juga penting untuk dilakukan dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas, yakni peran pemerintah, baik pemerintah di tingkat eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, saat ini tingkat kepercayaan Publik disadari atau tidak telah mengalami penurunan, hal ini tentunya berakibat pada krisis multidimensi, bagaimana tidak citra pemerintah saat ini sangatlah buruk dimata publik.

Citra buruk ini dapat dilihat dari praktek kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif banyak yang tersandung kasus korupsi, berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdapat 56 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dari tahun 2003 sampai 2014.

Diantaranya yaitu: Abdullah Puteh Gubernur NAD, Suwarna Abdul Fatah Gubernur Kalimantan Timur, Abubakar Ahmad, Bupati Dompu, Sjachriel Darham, Gubernur Kalimantan Selatan, Hendy Boedoro, Bupati Kendal, Syaukani HR, Bupati Kutai Kartanegara, Baso Amiruddin Maula, Walikota Makassar, Abdillah, Walikota Medan, Ramli, Wakil Walikota Medan, Tengku Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan, Agus Supriadi, Bupati Garut, Vonnie A Panambunan, Bupati Minahasa Utara. Detik. 6/8/2015)

Iskandar, Bupati Lombok Barat, Dany Setyawan, Mantan Gubernur Jawa Barat, Armen Desky, Bupati Aceh Tenggara, Jimmy Rimba Rogi, Bupati Manado, Samsuri Aspar, Wakil Bupati Kutai Kartanegara, Ismunarso, Bupati Situbondo, Syahrial Oesman, Mantan Gubernur Sumatera Selatan, Jules F Warikar, Bupati Kabupaten Supiori, H. Daeng Rusnadi, Bupati Natuna, Arwin AS, Bupati Siak, Ismeth Abdullah, Gubernur Kepulauan Riau, Indra Kusuma, Bupati Brebes. (Detik. 6/8/2015)

Yusak Yaluwo, Bupati Boven Digoel, Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara, Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar, Walikota Tomohon, Mochtar Mohamad, Walikota Bekasi, Binahati B Baeha, Bupati Nias, Robert Edison Siahaan, Mantan Walikota Pematang Siantar, Fahuwusa Laila, Bupati Nias Selatan, Murman Effendi, Bupati Seluma, Soemarmo Hadi Saputro, Walikota Semarang, Amran Batalipu, Bupati Buol, Kabupaten Sulawesi Tengah, Muhammad Hidayat Batubara, Bupati Mandailing Natal, Dada Rosada, Walikota Bandung. (Detik. 6/8/2015)

Hambit Bintih, Bupati Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Rusli Zainal, Gubernur Riau,Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten, Ikmal Jaya, Walikota Tegal, Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar, Rachmat Yasin, Bupati Bogor, Romi Herton, Walikota Palembang, Yesaya Sombuk, Bupati Biak Numfor, Ade Swara, Bupati Karawang, Raja Bonaran Situmeang, Bupati Tapanuli Tengah. (Detik. 6/8/2015)

Amir Hamzah, Wakil Bupati Lebak, Zaini Arony, Bupati Lombok Barat, Fuad Amin, Bupati Bangkalan, Barnabas Suebu, Gubernur Papua, Annas Maamun, Gubernur Riau, Marthen Dira Tome, Bupati Abu Raijua, Budi Antoni Aljufri, Bupati Empat Lawang, Rusli Sibua, Bupati Pulau Morotai, Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumatera Utara. (Detik. 6/8/2015)

Dari Jumlah nama-nama kepala daerah yang terjerat kasus korupsi ini, terdapat beragam kasus, hal inilah yang kiranya membuat masyarakat jenuh, dan apatis, dalam menyikapi persoalan politik, akibat dari rasa jenuh dan apatis tersebut perilaku tidak memilih pun dilakukan oleh masyarakat yang berimbas pada meningkatnya angka golput pada setiap momentum Pemilihan Umum baik ditingkat Eksekutif (Pilkada, Pilpres) maupun ditingkat Legislatif (Pileg).

Hal ini kiranya penting untuk di benahi, oleh pemerintah, disamping itu yang terpenting dalam Pemilihan Gubernur yang akan digelar pada 2017 mendatang, harus menjadi semangat awal untuk memperbaiki citra pemerintah, terutama citra pemerintah ditingkat eksekutif, (Kepala Daerah). Bagaimana pun pada pilgub 2017 mendatang, tingkat partisipasi masyarakat harus meningkat dan angka golput harus menurun, agar spirit demokrasi yang kita anut saat ini berjalan secara subtansial, bukan hanya prosedural.

Spirit demokrasi subtansial, dalam hal ini bukan hanya terletak pada, meningkatnya partisipasi pemilih dan menurunnya angka golput pada setiap momentum Pemilihan Umum saja, akan tetapi reformasi birokrasi, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, meratanya pendidikan, kesehatan, serta keseimbangan pembangunan Infrastruktur antara di pusat maupun di daerah, dalam momentum Pilgub ini, masyarakat menanti sosok pemimpin yang peduli dan dekat dengan rakyat, selain itu masyarakat juga merindukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen untuk mengabdi kepada rakyat dan komitmen untuk membangun daerah. Wallahu ‘Alam. (*)

Penulis: Deni Iskandar, Stering Comite Koalisi Mahasiswa UIN (KMU) Jakarta

Komentar Anda

comments