Jangan Jadi Bangsa Brutal!!!

Deni Iskandar
Deni Iskandar

SEBAGAI negara multikultural, bangsa Indonesia seharusnya dapat memelihara perbedaan sebagai suatu keniscayaan, disadari atau tidak bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara sangatlah heterogen, hal ini dapat kita lihat dari berbagai aspek, baik aspek kebahasaan, kebudayaan, etnis, suku, maupun Agama.

Dalam negara multikultural, bangsa Indonesia seharusnya tidak alergi dengan perbedaan, dan bisa lebih terbuka, dan toleran dalam menyikapi suatu perbedaan, disamping itu bangsa Indonesia juga harus memiliki cara pandang yang terbuka, toleran, dan plural dalam menyikapi dan merespon perbedaan, tiga hal inilah yang seharusnya menjadi penopang dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, tiga poin ini kiranya tidaklah bertentangan dengan “Bhineka Tunggal Ika” yang di jadikan sebagai falsafah negara.

Jika tiga poin yang telah di sebutkan di atas dapat di miliki oleh bangsa Indonesia,  maka niscaya kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan ajaran negara kita sebagaimana  yang tertera dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, nilai-nilai kebangsaan kita memiliki titik temu dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama, baik agama Hindu, Buddha, Kristen, Protestan, Khonghucu, maupun Islam artinya kedua nilai tersebut memiliki keselarasan dengan nilai-nilai kebangsaan kita yang tertera dalam Pancasila dan UUD yang telah di cetuskan oleh para founding kita dan di jadikan sebagai dasar hukum.

Selain itu Indonesia juga di sebut sebagai negara hukum dalam hal ini hukum yang di gunakan bukanlah hukum agama, melainkan hukum negara yakni Pancasila dan UUD yang telah di sepakati oleh Para founding kita di negeri ini. Disamping itu bangsa Indonesia juga merupakan bangsa uang bertuhan yang dalam hal ini menjung-jung tinggi nilai-nilai kamanusiaan dalam berbangsa dan bernegara.

Bangsa yang bertuhan, hal ini dapat di lihat dari semua penduduk yang memeluk agama dan aliran kepercayaan, meskipun begitu negara  Indonesia tidak di kategorisasikan sebagai negara “agama” melainkan negara “beragama” artinya negara kesatuan ini tidak menjadikan hukum agama sebagai hukum negara, akan tetapi pijakan hukum yang di gunakan di negeri multikultural ini adalah Pancasila dan UUD 1945.

Ini artinya kehidupan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan beragama memiliki porsi yang terpisah, persoalan agama tentunya harus di kembalikan pada pemuka agama, sebagaimana yang telah di atur oleh negara, sementara persoalan negara juga harus di kembalikan pada pemerintah. Pemisahan hukum ini bukanlah konsep “Sekuler” yang di gagas oleh negara-negara barat pada umumnya, akan tetapi ini merupakan konsekuensi dari hukum yang telah di sepakati di negeri ini.

Hukum negara bukan berlandaskan pada Alkitab, Weda, Tripitka, Alquran dan Hadits maupum kitab kitab yang lainnya, akan tetapi yang di jadikan sebagai sumber hukum di negeri ini adalah Pancasila dan UUD 1945, dalam UUD kita negara dalam hal ini memberikan kebebasan dan menjamin warga negaranya memeluk ajaran agama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang di anutnya, sebagaimana yang telah di atur dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Negara dalam hal ini memberikan kebebasan.

Meskipun Undang-Undang Dasar (UUD) kita telah mengatur persoalan yang telah di uraikan di atas, namum kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini telah memiliki kemunduran yang sangat jauh, terdapat kesejangan yang jauh antara yang “Dasein” semestinya dan “Dasolen”  senyatanya, banyaknya persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi di Negeri ini, terutama persoalan kemanusiaan.

Kemunduran ini dapat dilihat dari banyaknya pertikaian kemanusiaan yang terjadi, mulai peristiwa pembakaran rumah ibadah di Tolikara Papua, Peledakan Bom di Jl. Thamrin Sarinah, Jakarta Pusat yang di lakukan oleh sekelompok orang yang teridentifikasi sebagai teroris, dan baru-baru ini kasus pembakaran pun kembali terjadi di mempawah kabupaten Kalimantan Barat (19/01/2016).

Pada Tanggal 19 Januari 2016 telah terjadi pembakaran rumah Penduduk sebanyak sembilan rumah penduduk di bakar karena di anggap sebagai anggota dan eks anggota  Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, organisasi Masyarakat Gafatar ini di anggap sesat oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), sebanyak 947 penduduk.

Sebagaimana yang terhimpun dalam beberapa media, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) merupakan salah satu organisasi masyarakat yang di deklarasikan pada sabtu 21 Januari 2012, di Gedung JIEXPO Kemayoran Jakarta, organisasi yang bergerak di bidang sosial dan budaya ini di cap sebagai organisasi yang sesat dan menyesatkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), terdapat tiga hal kenapa MUI menyesatkan organisasi masyarakat ini.

Pertama organisasi masyarakat ini dinilai menyebarkan ajaran Islam dan sejumlah agama lain dengan cara menyatukan berbagai agama menjadi satu kepercayaan, kedua Gafatar juga merupakan metamorfosis dari Komunitas Millah Abraham (Komar). Sebelumnya, organisasi tersebut juga merupakan metamorfosis dari organisasi Al-Qiyadah al-Islamiyah. Organisasi tersebut telah dilarang Kejaksaan Agung sejak 2007, ketiga ajaran organisasi Gafatar ini mempercayai Ahmad Moshadeq sebagai Millah Abraham atau pemimpin umat pengganti Nabi Muhammad. (Tempo.21/01/2016).

Tiga hal inilah kiranya yang membuat  MUI menyesatkan Organisasi Masyarakat ini, akibat dari penyesatan yang di lakukan oleh MUI ini banyak masyarakat yang tergabung dalam ormas Gefatar ini yang terlantar, berdasarkan pendataan pemerintah Kabupaten Mempawah, jumlah anggota Gafatar di kabupaten itu mencapai 749 orang.

Melihat serentetan peristiwa tersebut, apakah sikap MUI itu bijak ? Dan sejauh mama peran negara dalam menjalankan amanat UUD, dan dimana letak kesalahan organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)?

Sebagai negara hukum seharusnya Pemerintah dapat menyelesaikan persoalan kemanusiaan ini dengan jeli dan cermat, tanpa merugikan salah satu pihak, dan seharusnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam hal ini harus lebih bijak dalam menetapkan persoalan hukum, MUI dalam hal ini harus bisa menjadi pemangku hukum yang baik dan bijak, bukan malah sebaliknya, jika kita merenungkan makna agama secara filosofis.

Justifikasi sesat dan menyesatkan yang di limpahkan kepada ormas Gafatar ini sejatinya harus di kaji ulang secara mendalam, MUI dalam hal ini tidak memiliki hak untuk mengklaim sesat dan menyesatkan kepada agama lain maupun ormas lain, bagaimana pun ukuran kebenaran di muka bumi ini sangatlah bersifat relatif.

Selama ormas Gefatar tidak melakukan kekerasan dan tidak merugikan masyarakat seharusnya Majlis Ulama Indonesia, janganlah terburu-buru mengambil satu kesimpulan, karena bagaimana pun kehadiran Gafatar di Indonesia tidaklah bertentangan dengan hukum negara, begitu pun negara dalam hal ini harus menjadi wadah sekaligus fasilitator bagi masyarakat yang saat ini terlantar karena hukum rimba yang di lakukan oleh masyarakat yang tidak sepakat dengan ormas Gafatar di Indonesia.

Negara harus tegas dalam mewujudkan amanat Undang-undang, karena bagaimana pun pijakan hukum di negeri ini bukanlah huku Agama, terutama Alquran dan Hadits melainkam Pancasila dan UUD 1945. Jangan sampai kehadiran kaum mayoritas Umat Islam di Indonesia menindas kaum minoritas, karena bagaimana pun dan dalam ajaran agama manapun tidak ada ajaran agama  yang membenarkan umatnya bersikap sewenang-wenang, menindas, menyakiti, bahkan juga merugikan umat yang lain.

Kiranya pemerintah kita di Indonesia bisa lebih tegas dan jeli lagi melihat fenomena ini, selain itu Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga keagamaan di Indonesia harus bisa lebih bijak sebagai pemangku Hukum Agama di Indonesia, selain itu bangsa Indonesia harus memiliki cara berpikir yang lebih Inkusif (Terbuka) Plural dan Toleran, semoga bangsa kita bisa belajar, dari kejadian ini dan taat hukum. (*)

Penulis: Deni Iskandar, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Dewan Pembina Koalisi Mahasiswa UIN (KMU) Jakarta

Komentar Anda

comments