Negara Butuh Wasit Tegas Dalam Kompetisi Konflik di Indonesia

Nur Cholish Hasan.
Nur Cholish Hasan.

LEDAKAN konflik awal tahun 2016 belum menjadi mimpi buruk bagi bangsa Indonesia yang sudah lazim wajahnya melihat pemandangan seperti ini, banyak  ragam corak dari Sabang sampai Marauke yang mewarnai nusantara sudah terbiasa ikut andil dalam menyumbangkan persoalan negara.

Pancasila yang dijunjung tinggi sebagai ideologi dan falsafah bangsa sejauh ini belum bisa menjadi jiwa bangsa, mengakibatkan masalah dari dalam maupun luar masih sulit dicegah. Bahkan, istilah “conflict free day” belum bisa dirasakan sampai saat ini di Indonesia karna tekanan dari berbagai sudut membuat ledakan konflik merata di bumi Indonesia.

Kembali pada topik sekarang yang sedang dihadapi, tak luput dari PR tahun sebelumnya hingga menuai banyak dampak yang harus diselesaikan saat ini.
Indonesia ibarat lapangan football kompetisi konflik internasional, dimana negara-negara besar dunia turut berpartisipasi dalam hal ini. Tak mengherankan Indonesia dari dulu menjadi sorotan dunia karna sumber daya alam (SDA) yang mapan dan menggiurkan menjadi sasaran utama negara-negara, yang mengakibatnya semua saling menekan dan membesarkan diri di tanah pertiwi. Yang berimbas dari semuanya adalah rakyat kecil yang dibutakan serta di permainkan.

Penguasa negri ini tak banyak yang memiliki jiwa idealitas tinggi, menjadi sayap negara lain lebih dikedepankan dibanding menjadi pengabdi demi rakyat sendiri. Akhirnya tumpahan darah dan air mata Indonesia masih mengalir sekalipun proklamasi kemerdekaan telah lama dibacakan.

Sampai Kapan Pertiwi Menangis ?

Rasa was-was disertai ketakutan seakan setia menghantui perasaan bangsa Indonesia yang harus senantiasa mengantisipasi ancaman-ancaman dari luar maupun dalam, demi kesejahteraan yang telah dicita-citakan. Pertumpahan darah selama kurang lebih 350 tahun ketika penjajahan sudah cukup kiranya membuat bangsa ini menderita dan tertindas di tanah sendiri.

Masih berlanjut setelah suara kemerdekaan Indonesia terdengar sampai ujung dunia, membuat pergolakan politik membumbung tinggi di wilayah kekuasaan Indonesia, sampai saat ini lazim kita ketahui negri ini telah melewati tiga masa setelah penjajahan berakhir, alhasil rakyat pula yang mendapat akibat semua ini.

Pemberontakan terjadi di mana-mana, saling menghasut demi kepentingan kelompok sudah menjadi kultur di Indonesia. Tampaknya dalam hal tersebut sampai detik ini masih berkeliaran di bumi Indonesia, hanya saja di era sekarang permainan dikemas dalam bentuk abstrak.

Lantas ini salah siapa? Entah kenapa sampai kini Indonesia tak bisa diam dalam tangisan melihat rumah yang penuh dengan darah, kecemasan belum bisa hilang selagi teror masih membayang-bayangi langit Indonesia.

Terlebih lagi saat ini dihadapkan dengan resminya pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), rakyat harus benar-benar bersaing langsung dengan bangsa lain di tanah sendiri. Hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja meskipun tandingan konflik saat ini sedang marak, dan satu persatu lahir dan menutup soal-soal yang seharusnya dipecahkan terlebih dahulu.

Lagi-lagi melihat SDA Indonesia yang melimpah menjadi buruan negara-negara yang tamak, rakus dan serakah.

Kemudian, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) terlihat bukan hal yang mengejutkan lagi, tidak heran sudah menjadi rutinitas para penguasa yang haus akan kekuasaan dan kekayaan tanpa berpikir panjang bahwa ada berjuta-juta hak rakyat dikeruk dan rampas oleh satu orang yang haus, rakus dan serakah.

Indonesia yang dikenal mayoritas beragama islam terbesar di mata dunia, kiranya cukup sudah membuat pertiwi menagis hingga mengkarat dan semakin menjerit melihat koruptor yang bebas berkeliaran di Indonesia telah mencederai hakikat Islam itu sendiri.

Lantas dimana letak keadilan dan kesejahteraan indonesia?. Sungguh malang Negara yang kaya alamnya tapi belum mampu membuat para penghuni senang dan bangga !

Belenggu Yang Membuat Indonesia Takut.

Tak heran dan tak salah pepatah kuno mengatakan “jika sudah cinta, halal dan haram tak jadi soal” ini salah satu yang menghambat lajunya perkembangan Indonesia, lebih-lebih membuat konflik yang ada semakin tumbuh serta berpeluang melahirkan anak baru.

Hakikatnya hanya satu goal yang hendak dicapai, karna dianggap sulit bagaimanapun caranya, larangan sekalipun dapat dilakukan. Akhirnya, semua aspek sosial mendapatkan dampaknya, sekalipun agama yang dianggap sangat sentimental dipaksa harus masuk dalam persoalan yang ada.

Berdasarkan hasil pengamat politik Indonesia terkait insiden teror bom yang terjadi pekan ini, sangat besar sekali mempunyai relasi dengan konflik yang sebelumnya. Hal ini memicu berbagai kritikan rakyat terhadap pemerintah sekarang yang lebih tepat kepemimpinan bapak Joko widodo dan Jusuf kalla.

Pertarungan di parlemen tak pernah tamat, hingga kini masih tetap hidup dan berkembang sejak persoalan freeport yang berdampak pada MKD, tidak berhenti disitu malah lahir kembali pergolakan yang lain dan bapak wakil presiden pun tidak ingin ketinggalan, nama beliau melecit menjadi dugaan korupsi.

Dari luar pemerintahan aliran organisasi Gafatar menjadi wacana trending topik masyarakat Indonesia. Yang pada akhirnya kontrak freeport di perpanjang secara diam-diam oleh mentri ESDM, dalam kutipan media “rimanews”.

Sebagai negara demokrasi, Indonesia harusnya lebih pada teori “konstitusional” yang di analogikan kasih sayang suami terhadap sang istri. Begitupun harusnya para pemimpin kita bersikap terhadap pemegang tertinggi kebijakan rakyat.

Dalam hal ini, jika melihat Indonesia sekarang telah merosot dan terjerat pada kekuasaan tirani hingga rakyat enggan berpartisipasi penuh dalam mengambil langkah demi cita-cita dan tujuan bersama. Dengan demikian, media massa pun berperan penting dan dituntut lebih independent dan idealis sebagai penyalur suara rakyat, karna bangsa ini besar salah satunya adalah karena media massa. Semua rakyat bergantung dan percaya pada media massa yang ada di Indonesia.

Untuk itu hemat penulis mengharapkan,  bahwa indonesia perlu pemimpin yang lebih tegas lagi dalam konflik apapun demi menstabilkan kondisi negri ini, dengan tidak menjadi sayap bangsa lain yang sedang carut marut bergelut dalam berbagai konflik. Dan oleh karna itu pemerintah yang sedang duduk santai, tertib memecahkan masalah satu persatu agar terlihat lebih efektif dan teratur hingga tidak memicu kegelisahan, kecemasan, dan ketakutan bangsa ini. (*)

Penulis: Nur Cholish Hasan, Kordinasi Lapangan koalisi mahasiswa UIN (KMU) sekaligus Keluarga Mahasiswa Cilegon (KMC).

Komentar Anda

comments