Airin dan Bayang Politik Maskulinitas

Kampanye terbuka pasangan Airin-Benyamin di Lapangan Sunburst. (ymw)
Kampanye terbuka pasangan Airin-Benyamin di Lapangan Sunburst. (ymw)

TIDAK mudah untuk membaca seorang pemimpin dalam satu atau dua penilaiaan semata. Sebab, seorang pemimpin seharusnya dilihat dalam banyak aspek yang melingkarinya. Baik aspek yang muncul dari latar belakangnya terdahulu, saat ini (kekiniaan) dan aspek visioner seorang pemimpin tersebut pada masa yang akan datang.

Dalam bahasa lain dikatakan untuk memberikan penilaiaan secara obyektif terhadap seorang pemimpin, diperlukan banyak aspek yang bisa dibaca dari seorang pemimpin. Salah satu aspek yang perlu dipahami adalah aspek sosiologis. Karena dari aspek sosiologis tersebut lahirlah sebuah kepingan pemahaman yang diterbitkan dari kepemimpinan karena sifatnya yang langsung terasakan oleh masyarakat.

Dalam konteks sosiologis itupula tulisan ini bermaksud memotret situasi kepemimpinan Airin Rachmi Diany, selaku Walikota Tangsel yang saat ini bersama pasanganya, Benyamin Davnie, maju kembali sebagai petahana Pilwalkot Tangsel guna melanjutkan pembangunan untuk periode kedua.

Airin dan Kepungan Maskulinitas

Maskulinitas (cara pandang dunia yang didominasi laki-laki) yang saat ini masih menghegemoni ruang publik, utamanya dalam kancah perpolitikan baik di tingkat pusat dan daerah, termasuk Tangsel sering menjadi persoalan tersendiri yang menarik untuk dikaji.

Apa menariknya isu maskulinitas ini dikaji dalam konteks perpolitikan Tangsel?
Tentu saja menarik oleh karena adanya faktor sosiologis dan isu aktual terkait doktrin “keunggulan laki-laki” dibanding kaum perempuan yang saat ini juga menjadi isu hangat jelang pencoblosan Pilwalkot Tangsel Desember nanti.

Maskulinitas sendiri merupakan anak kandung dari kajian gender yang kini sedang gandrung dibicarakan secara luas oleh masyarakat. Tidak hanya akademisi dan aktivis perempuan, tetapi juga kadung dibicarakan oleh ibu-ibu di pasar meskipun pemahaman masyarakat awam tidak sebagus pemahaman para aktivis perempuan.

Pembelaan atas kesetaraan gender sendiri saat ini tak hanya didominasi kaum perempuan. Bahkan, terdapat beberapa lembaga yang selama ini getol menyuarakan keadilan gender justru dari kubu laki-laki. Artinya, isu ini tak hanya milik kaum perempuan-ansich, tetapi juga mulai merasuk kedalam pengkajian oleh kaum maskulin sebagai lawan dari kaum feminis.

Secara filosofis kajian feminis dan maskulin mendasarkan pada kajian gender yaitu bagaimana keadilan terhadap peranan laki-laki dan perempuan dalam ruang publik (secara sosiologis). Yang dicari menurut teori kesetaraan gender adalah keadilan, kesetaraan dan terpenuhinya hak-hak perempuan pada ruang sosial kemasyarakatan.

Pengertian gender itu sendiri menurut Women’s Studies Encyclopedia adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004).

Pengertian ini penting dikemukakan sebab selama ini, menurut temuan yang dipublish Jurnal Perempuan, pemahaman Gender sering disalahartikan oleh masyarakat.  Gender bukan semata jenis kelamin meskipun dalam pengertiaan secara kebahasaan, gender merupakan dasar yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.

Jika gender dalam pengertian bahasa adalah “jenis kelamin” maka Gender dalam konteks disini adalah peranan perempuan dalam perkembangan di masyarakat baik dalam peranan sosial, ekonomi, politik, agama dan kebudayaan.

Airin Simbol Kaum Feminis

Dalam konteks Pilwalkot Tangsel contohnya. Kepemimpinan  Airin selama menjabat sebagai Walikota Tangsel adalah simbol “kepemimpinan” seorang perempuan yang berhasil keluar dari penjara politik yang umumnya diasosiasikan dengan dunia “kelaki-lakiaan”.

Perang wacana yang selama ini muncul disadari atau tidak merupakan anak turunan dari perang gender antara politik feminisme yang disimbolkan pada Airin dan maskulinisme yang diwakilkan pada Arsid dan Ikhsan.

Dari kacamata pengertian itulah kemudian dapat kita analisa bahwa peranan politik kaum perempuan yang dalam hal ini diwakili Airin– nampaknya belum dapat diterima oleh sebagian kaum laki-laki yang berpaham konservatif utamanya di Tangsel.

Mereka (baca: lawan Airin) masih mendasarkan pemahaman “kaku” bahwa laki-laki adalah pemimpin bukan saja pemimpin pada rumah tangga juga pemimpin di ruang publik (baca:pemerintahan). Sedang perempuan cukup di rumah mengurusi dapur, kasur dan sumur.

Secara sosiologis latar belakang inilah sebagiamana yang disingggung di awal tulisan yang membuat pertarungan antara laki-laki dan perempuan dalam ruang politik menjadi menarik karena hegemoni kelaki-lakiaan dalam ruang ini didobrak Airin meskipun Airin sendiri tak bermaksud demikian. Timbullah sebuah “ego” atas nama kelaki-lakiaan yang dimainkan oleh lawan-lawan politik Airin berupa menyerang urusan pribadi yang dihadapi Airin. Targetnya tentu saja untuk menyerang psikologis Airin.

Menurut informasi yang berkembang di masyarakat Tangsel kini muncul sentimen gender yang oleh lawan politik Airin terus dihembuskan. Isu itu terbangun dengan konstruksi berpikir khas kaum maskulin yang melihat perempuan sebagai mahluk lemah dan tak berdaya.

Salah satu isu yang terus dikembangkan lawan-lawan Airin adalah ketidakpantasan seorang perempuan memimpin pemerintahan karena rentan untuk dimanfaatkan oleh “laki-laki” disampingnya. Isu ini dialamatkan kepada Airin akibat kasus sang suami yang menimpa saat dirinya menjabat.

Adanya isu tersebut berangkat dari dangkalnya pemahaman atas doktrin bahwa laki-laki merupakan mahluk sempurna sehingga pantas untuk memimpin sedangkan perempuan adalah mahluk yang ‘lemah’ dan tak pantas memimpin sebagaimana isu yang kini beredar di masyarakat Tangsel. Dalam kacamata kesetaraan gender  argumentasi yang dibangun tersebut tidak saja melanggar hak atas politik seorang warga negara (Laki-laki dan Perempuan)– tetapi sangat keliru dan ketinggalan zaman.

Karena pada faktanya wacana keunggulan laki-laki justru mulai dipertanyakan oleh kaum feminis karena kerap kali ditemukan laki-laki yang berlaku layaknya perempuan atau dalam kajian psikologi disebut penyimpangan seksual.

Sudah saatnya pemahaman bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki dilempar pada keranjang sampah oleh kita semua. Sebab, kepercayaan bahwa laki-laki dan kekuasaan bagi dua sisi mata uang yang sama, sudah jauh ditinggalkan dalam diskursus politik kekiniaan.

Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik, terutama dalam dunia politik merupakan fakta sosio-politik yang tak bisa dihindarkan atau dimatikan.  Karena diakui atau tidak faktor kesetaraan gender dalam bidang politik itulah yang kemudian menjadikan Indonesia di mata dunia internasional dipuji sebagai negara Demokratis karena memberikan porsi keterwakilan perempuan dalam ruang publik, baik itu di pemerintah pusat, daerah, baik di lembaga pemerintahan formal, DPR, Badan-Badan Publik hingga merasuk kedunia swasta.

Meskipun kesetaraan itu belum terlalu sempurna, namun apa yang sudah dimiliki sekarang seharusnya terus dijaga, dirawat dan disuburkan hingga ratusan tahun kedepan.  Karena itu, perlu kiranya dikembalikan pemahaman yang utuh terkait bagaimana memilih pemimpin secara rasional 9 Desember nanti.

Bahwa persoalan jenis kelamin dan faktor biologis sesesorang bukanlah satu-satunya faktor untuk memilih atau tidak memilih orang tersebut. Sebab pemilih yang rasional selalu mendasarkan pilihannya pada hal-hal yang dirasakan panca indera, yaitu mata (pembangunan yang terus berjalan), kulit/rasa (keamanan dan ketertiban di masyarakat) dan situasi kondusif lainnya yang selama ini lahir dan dihasilkan oleh kerja nyata Airin selama dirinya memimpin Kota Tangsel bersama Benyamin Davnie. Mari mengutamakan kecerdasan sekaligus pemahaman terbarukan terkait gender dalam Pilwalkot nanti. (*)

Penulis: Rudy Gani (Tangsel Institute)

Komentar Anda

comments