Pilkada Serentak dan Resolusi Konflik

Ilustrasi. (bbs)
Ilustrasi. (bbs)

SUATU negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan (partai politik), informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan politik, begitu menurut pandangan Ilmuwan politik Juan J. Linz dan Alfred Stepan.

Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat penting bagi demokrasi. Pilkada sejatinya adalah pertarungan, peperangan dan adu strategi, namun dibalik itu harapan rakyat untuk daerah yang aman dan damai lebih besar.

Perlu diingat, pilkada lebih sering menimbulkan kekerasan dan konflik horisontal dibandingkan pemilu legislatif dan pemilu presiden, bahkan isu SARA lebih berpotensi dalam pilkada didasarkan pada beberapa kasus yang terjadi di negara ini, potensi satu ini muncul karena berbicara kearifan lokal suatu daerah, hubungan mayoritas-minoritas, dan yang paling ironi isu ini seringkali ditunggangi oleh kelompok tertentu untuk menjatuhkan kelompok lain.

Wujud pilkada serentak memang memiliki peluang baik untuk kemajuan demokrasi negara ini, namun tidak terlepas dari ancaman resiko konflik yang besar, di antaranya dapat memicu konflik di beberapa daerah secara bersamaan, yang mana kesiapan keamanan dan pertahanan dipertaruhkan.

Terlepas dari itu semua, sebenarnya bukan hanya tugas aparatur negara yang memiliki kewajiban mengantisipasi keamanan dan keutuhan kebangsaan, melainkan juga partisipasi publik dalam mengawal dan menjaga perdamaian sangat diutamakan dalam momentum ini.

Tangerang Selatan sebagai salah satu kota yang akan melaksanakan kontestasi pilkada serentak 2015, tidak luput dari potensi konflik, Kota Tangerang Selatan sebagai kota paling muda di provinsi Banten baru memiliki pengalaman sekali dalam kontestasi pilkada yaitu pada tahun 2010 hampir tidak ada konflik yang berarti. Namun menjelang pilkada tahun ini, arogansi,kerusuhan, dan kampanye hitam berpotensi muncul mewarnai kontestasi.

Resolusi Konflik

Pandangan Gusdur soal “Perdamaian tanpa keadilan adalah Ilusi” sangat menarik dan relevan untuk dijadikan pijakan dasar sebagai pencegahan segala ancaman yang mungkin terjadi, dimana semua pasangan calon memiliki hak dan porsi yang setara dalam menyampaikan visi misi, gagasan dan kampanyenya.

Penyelenggaraan pemilu yang adil akan mewujudkan perdamaian sejati, faktor terjadinya konflik dan kekerasan paling sering ditemukan di antaranya karena ada diskriminasi dan ketidakadilan. Memang bukan perkara mudah untuk mencapai kata “adil” karena tidak terlepas dari subjektifitas pembaca dan pemerhati, namun adil selalu dapat diupayakan dengan membangun integritas, tanggung jawab, dan independensi penyelenggara pemilu.

Resolusi konflik dengan dialog terbuka bisa menjadi pencairan ketegangan yang sudah membeku, mencegah lebih baik daripada mengobati merupakan adagium yang sangat pantas dalam momentum ini, semua orang tentu tidak menginginkan jatuhnya korban terlebih dahulu baru sadar, akan tetapi mencegah sebelum terjadinya korban dan konflik berkepanjangan adalah keinginan masyarakat negara ini yang sesungguhnya.

Masyarakat pun seharusnya tidak mudah terpengaruh terhadap hal-hal yang bersifat provokatif dan memicu kekerasan, karena dalam posisi ini masyarakat harus sebagai kontrol atau tepatnya sering disebut power of people (masyarakat yang memiliki kekuatan).

Napoleon Boneparte dengan gagasannya “Civis Pacem Parabellum” yang artinya menurut hemat penulis adalah  “damai dengan perang” mungkin perlu dibalik menjadi “perang dengan damai”, jika sebuah kontestasi diartikan sebagai perang atau pertarungan maka berperang dan bertarunglah dengan damai.

Perdamaian abadi hanya akan tercipta jika masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa tidak ada yang perlu dibela mati-matian kecuali perdamaian. Apa pun hasilnya, pelaksanaan Pilkada serentak mesti berjalan sukses dalam arti demokratis, aman, dan damai.

Semua itu bisa diwujudkan apabila semua masyarakat dan kelompok kepentingan memiliki kesadaran, bahwa ada hal yang lebih penting daripada kekuasaan dan jabatan, yaitu perdamaian dan perjalanan bangsa yang masih panjang.

Pilkada serentak ini juga menjadi momentum pendidikan demokrasi kepada para generasi penerus bangsa, maka dengan menunjukkan kedewasaan politik para kontestan akan mewariskan perdamaian untuk para keturunan dan generasi-generasi yang akan datang.***

Penulis: Ahmad Syarif, Penggiat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat & Pusat Studi Nusantara (Pusara)

Komentar Anda

comments